29.9.10

Mengapa Hawa tercipta saat Adam tertidur dan Hawa melahirkan saat dirinya terbangun??


Seorang laki-laki jika dia kesakitan, maka dia akan membenci. Sebaliknya wanita, saat dia kesakitan, maka semakin bertambah sayang dan cintanya,, Seandainya Hawa diciptakan dari Adam As saat Adam terjaga, pastilah Adam akan merasakan sakit keluarnya Hawa dari sulbinya, hingga dia membenci Hawa. Akan tetapi Hawa diciptakan dari Adam saat dia tertidur, agar Adam tidak merasakan sakit dan tidak membenci Hawa. Sementara seorang wanita akan melahirkan dalam keadaan terjaga, melihat kematian dihadapannya, namun semakin sayang dan cinta nya kepada anak yang dilahirkan bahkan ia akan menebus nya dengan kehidupannya.


Sesungguhnya Allah menciptakan Hawa dari tulang rusuk yang bengkok yang tugasnya adalah melindungi Qalbu(jantung, hati nurani). Oleh karena itu, tugas Hawa adalah menjaga qalbu. Kemudian Allah menjadikan nya bengkok untuk melindungi qalbu dari sisi yang kedua. Sementara Adam diciptakan dari tanah, dia akan menjadi petani, tukang batu, tukang besi, dan tukang kayu. Wanita selalu berinteraksi dengan perasaaan, dengan hati, dan wanita akan menjadi seorang ibu yang penuh kasih sayang, seorang saudari yang penyayang, seorang putri yang manja, dan seorang istri yang penurut.


Dan wajib bagi Adam untuk tidak berusaha meluruskan tulang yang bengkok tersebut, seperti yang dikabarkan oleh Nabi Muhammad SAW, “jika seorang lelaki meluruskan yang bengkok tersebut dengan serta merta, maka dia akan mematahkannya.” Maksud nya adalah dengan kebengkokan tersebut adalah perasaan yang ada pada diri seorang wanita yang mengalahkan perasaan seorang laki-laki.


Maka wahai Adam janganlah merendahkan perasaan Hawa, dia memang diciptakan seperti itu. Apabila seseorang wanita mengatakan dia sedang bersedih, tetapi dia tidak menitikkan airmata, itu berarti dia sedang menangis di dalam hatinya. Apabila dia tidak menghiraukan kamu setelah kamu menyakiti hatinya, lebih baik beri dia waktu untuk menenangkan hatinya sebelum kamu meminta maaf. Dan wanita sulit untuk mencari sesuatu yang dia benci untuk orang yang paling dia sayang

26.9.10

Jenazahku Engkau Yang Memandikan


Oleh Abdul Mutaqin

Manisnya madu perkawinan selama sepuluh tahun terakhir masih terasa kental di bibir hatinya yang dalam. Wanita yang dinikahi saat duduk di bangku kuliah semester tujuh itu benar-benar telah menghadirkan “kesempurnaan” nya sebagai lelaki, sebagai suami dan ayah bagi anak-anaknya. Hingga kehadiran anak ketiga mereka, ritual kemesraan dan kehangatan mu’asyarahmasih dirasakan seperti dulu, seperti awal pengantin baru. Selalu saja rasa cinta dan sayang isterinya itu, mampu menutupi segala cela yang biasa terjadi layaknya di setipa rumah tangga. Meskipun ada yang kadang terlupa, seperti teh hangat yang luput di sore hari kepulangannya setelah bekerja, isterinya bisa mengalihkannya dengan hal lain yang membahagiakan dan menghapus rasa haus dan letihnya. Bahkan kenikmatan regukan teh Tong Tji kesukaannya, tidak berarti apa-apa saat isterinya mengatakan,

“Ayah, saya telah menunggumu sejak seperempat jam yang lalu. Ingin segera melihat senyummu yang khas dan menakjubkan”.
Maka dipeluknya mesra wanita itu dengan senyum yang dibanggakannya. Barulah ia mencari anak-anaknya dan menciumnya adil satu persatu. Setelah itu, ia berbisik di ujung anak telinga isterinya yang putih dengan lembut,
”Wah, gara-gara senyumku, teh Tong Tjinya kelupaan”.
Seperti biasa, segera isterinya menyela. Bahkan cerdiknya ia, selaannya sering disesuaikan dengan konteks hidup suaminya. Ia tahu bahwa suaminya sedang dituntut mampu berkomunikasi dengan bahasa Inggris, spontan ia berujar,
”Wait a minute, honey. I will be back with your favorite cup of tea”.

Bagai rembulan yang turun di pangkuannya, terkesima. Hampir biasa ia mendengar ungkapan seperti itu, seperti biasanya melihat bulan purnama di langit yang tinggi. Tetapi kala ungkapan itu meluncur lancar dari bibir isterinya, seolah purnama sengaja turun menghampirinya dan mempertontonkan pesona kecantikannya yang tanpa cela. Maka puaslah hatinya mendapatkan wanita pilihan Tuhan di rumah tangganya. Kadang ia sendiri menerka-nerka, inikah yang dimaksud sakiinah, mawaddah dan rahmah?

Dalam pengalaman empirik pribadinya, kebahagiaan dan kepuasan pada pasangan hidup dapat diperoleh tidak hanya pada saat berada dalam satu selimut. Tetapi ia bisa diraih hampir di seluruh sudut ruang rumah tangganya. Saat ia ditemani di atas sajadah dalam tahajjud malam, saat wanita itu membuka sepatunya di teras rumah, saat membalurinya dengan telon karena cuaca dingin di pojok sofa, bahkan saat membantu isterinya menautkan resleting di punggung baju gamis isterinya. Ada kepuasaan saat ia dilayani dan melayani, meskipun pada hal yang sangat sepele saja.

Maka sering ia merasa miris mendengar ocehan para lelaki yang hanya sanggup mengukur kepuasan berumah tangga hanya dari sudut tempat tidur dan mengabaikan sisi lumrah dari perhatian pasangan hidupnya. Seolah-olah ukuran kepuasan rumah tangga hanya diukur dari termometer tinggi rendahnya suhu saat di ranjang privat. Sementara suguhan secangkir teh, menautkan dasi di leher atau memilihkan warna dasi yang cocok dengan warna kemeja dianggap hal biasa yang tidak perlu diapresiasi sebagai sebuah kepuasan.
Lebih terheran-heran ia, apabila mendengar ada suami ringan tangan menyakiti badan, pahit lidah menyakiti hati dan masam muka yang membuat gundah atas isterinya. Tetapi saat malam merayap pelan dan suasana menjadi temaram, dengan tanpa merasa bersalah ia membuka seluruh tabir yang melekat di tubuh isterinya sampai ia kelelahan dan bermandi peluh. Bukan hanya ia yang keheranan, bahkan manusia terbaikpun begitu terheran-heran dengan perlakuan suami macam ini. Imam Bukhari ada menuliskan dalam sahihnya, hadits nomor 4805 demikian:

Abdullah bin Zam'ah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Janganlah salah seorang dari kalian memukul isterinya, seperti ia memukul seorang budak, namun saat hari memasuki waktu senja ia pun menggaulinya."
Sebagai suami, ia merasa bukan suami super dengan gaji besar dan kedudukan yang mapan. Bahkan jika gajinya dimatematikakan, ha ha ha, kalau bukan karena modal ikhlas menerima pemberian Tuhan, rasa-rasanya akan hilang kesabaran hidup dengan penghasilan yang habis dalam hitungan dua minggu. Itu pula yang sering ia keluhkan pada isterinya di sela-sela pengantar tidur malamnya.
Dalam penampilan, wajahnya pun tergolong biasa saja, tidak tampan juga tidak amat mengecewakan. Namun wanita di sampingnya itu tetap menganggapnya sebagai laki-laki terbaik dalam hidupnya. Itu diketahuinya dari membuka diary milik isterinya diam-diam saat ia sudah terlelap.

Benarlah kata seorang motivator, bahwa jangan pernah sepelakan kata-kata. Kata-kata bisa mengubah hal kecil menjadi besar, hal biasa menjadi istimewa dan impian menjadi kenyataan.
Satu hal yang kadang terlupakan, bahwa seorang suami adalah motivator bagi isterinya. Seringkali pula, kesuksesan seorang lelaki terwujud karena wanita di sampingnya menjadi inspirasi yang mengantarkan kesuksesannya itu.

Begitulah setiap hari ia lewatkan dalam kebersahajaan bersama pendamping hidup yang telah memberinya tiga buah hati titipan Tuhan. Tetapi dari seluruh ingatan manis yang membekas di relung sukma romantisme perkawinannya ada satu sesi yang paling keras membekas. Saat laut menjadi saksi bisu perbincangan ala sufi dengan wanita ibu dari anak-anaknya itu.

Senja itu menjadi tidak terlupakan olehnya. Saat menikmati mentari hampir tenggelam di pantai laut Anyer setengah tahun lalu. Perbincangan mereka menjadi sangat serius dan liat. Tidak seperti biasanya yang santai dan cair. Apalagi, deru ombak seolah ingin terlibat dalam obrolan mereka berdua. Sambil jemari mereka bertaut, mereka keheranan bahwa mereka masih menyimpan berjuta-juta kemesraan di saat telah memiliki dua putra dan seorang putri. Genggaman tangan mereka masih dirasakannya bergetar seperti zaman seminggu menikah sepuluh tahun lalu. Apalagi suasana pantai yang romantis, di atas kelembutan pasir laut, deru ombak yang bersahutan dan nyanyian camar yang seolah menggoda seperti selaksa pantun yang melenakan. Romantisme itu terusik.

”Suamiku, kelak aku ingin mati lebih dulu darimu”.

Hatinya melonjak, terkejut dan terpana. Ia gagap sesaat. Hampir ia kehilangan kesimbangan di atas romantisme yang memuncak dan tiba-tiba limbung. Seolah ia tidak siap sebagaimana ia selalu siap menikmati kearifan dan kelembutan kalimat dari bibir isterinya.
Tiba-tiba pendengarannya kacau, suara debur ombak menjadi gemuruh yang mengancam. Nyanyian camar berubah menakutkan seperti berita duka yang menggema. Tiba-tiba perasaan hatinya berubah galau. Pasir laut terasa tidak lagi lembut dan sejuk, tetapi seperti tusukan duri semak dan mendidih. Temaram senja tidak lagi menggairahkan, tetapi seperti tanda bahwa hari akan segera berakhir. Hatinya kecut, pikirannya kusut masai.

”Bunda, kok ngomongnya begitu?”, terbuka juga bibirnya yang sejak tadi terkatup rapat. Dadanya yang seolah sesak, mulai kendur dan teratur nafasnya lebih halus.
”Loh, kan kita pasti semua akan mati. Tidak ada di antara kita yang kuasa menolak kehadirannya cepat atau lambat. Andaikan ada obat agar orang tidak bisa mati, saya ingin membelinya banyak dan meminumnya teratur supaya saya tetap bisa mendampingimu, suamiku”.
”Tapi mengapa harus kita ucapakan ingin duluan atau belakangan? Biarkanlah ia datang tanpa kita mengharapnya, asalkan kita sama-sama siap mengahadapinya. Bukankah ini lebih menentramkan isteriku?”.

Alam seolah turut campur dalam perbincangan itu. Seolah ia memberi isyarat supaya mereka mengambil jeda untuk diam. Maka dialog terputus dalam beberapa saat, diisi oleh musikalisasi laut yang sambung-menyambung. Seperti iklan di TV pengiring sinetron kesukaan para ibu. Dalam diam mereka berdua sesekali menatap, persis remaja tanggung yang sedang kasmaran.
”Apakah suamiku kali ini tidak berkenan atas ucapanku?”
”Hmm, mungkin tidak pada isinya sayangku. Tapi, bukankah saat seperti ini sebaiknya kita menikmati keindahan Kasih Tuhan dalam kemesraan kita? Kita mengingat Tuhan dalam romantisme kehidupan rumah tangga kita yang masih saja hangat”.
”Jadi, tidak bolehkah kita ingat mati saat kita menjalin kemesraan? Padahal kematian sendiri datang tanpa kompromi”.

Kali ini suara ombak terasa lebih lembut seolah tersihir kalimat sufistik istrinya soal kematian. Tanpa dituntun, alam pikirannya berdiskusi bahwa memang kelalaian manusia mengingat Tuhan seringkali terjadi karena manusia enggan mengingat mati di saat senang. Tuhan lebih didekati di saat kritis dan kepepet. Sementara di saat lapang dan suka cita, urusan Tuhan dan kematian sengaja dikesampingkan sementara waktu. Jadilah manusia tenggelam dalam kemewahan hidup dan lupa beratnya hidup sesudah mati.
”Bunda, kalau boleh, aku ingin mati bersamaan dengan kematianmu. Agar aku tidak merasa cemburu yang bisa saja akan ada lelaki yang meminangmu setelah kematianku. Atau aku akan tergoda berpaling pada wanita lain setelah kepergianmu”.
”Tidak sayang. Siapa yang akan memandikanku kelak jika kita wafat bersamaan. Biarlah aku yang duluan dan aku puas jika jenazahku Engkau yang memandikan”.
”Sama saja. Aku juga baru merasa puas jika jenazahku Engkau yang memandikan”.
Tiba-tiba tawa keduanya pecah seiring senja yang semakin tua. Langit semakin kemerahan dengan warna tembaganya yang khas. Terlihat tangan mereka saling menggapit. Saling mencubit mesra seperti layaknya kemesraan bulan madu. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh teriakan tiga bocah kecil yang berlarian sambil melambaikan tangan.
”Ayaaaah, Bundaaaa ... ”.

Ketiga anaknya berlarian berebutan ingin duluan menubruk ayah bundanya. Keringat mereka berkilat-kilat ditimpa cahaya lampu tepi pantai yang sudah menyala seluruhnya. Berlima kemudian mereka tertawa riang berpelukan. Si bungsu memilih mendekap bundanya seolah tidak ingin dilepaskan. Sementara kedua tangan lelaki suaminya digandeng anak pertama dan keduanya.
Suara adzan Maghrib terdengar sayup-sayup. Berlima mereka pulang ke penginapan dan menghabiskan malam dengan senyum kebahagiaan. Sebuah kenangan yang tidak tertandingi indahnya sepanjang kenangan.
-------
Ciputat, September 2010.
abdul_mutaqin@yahoo.com

sumber: http://www.eramuslim.com/

14.9.10

Tamu Yang Datang Menjelang Lebaran

Cerpen Rachmat H. Cahyono
1. Malam itu, di kamar mereka, Arman menunggui istrinya dengan pandangan bertanya. Sorot matanya menuntut penjelasan. Sebagai suami --predikat yang telah disandangnya selama bertahun-tahun-- ia cukup peka untuk bisa ikut merasakan, Alia sesungguhnya tak menghendaki kehadiran ayahnya sendiri di rumah mereka. Setelah tiga hari berlalu, terasa kehadiran orang tua itu telah menyerap semua kehangatan suasana yang tadinya selalu mewarnai rumah mereka menjelang datangnya Hari Lebaran. Ia tahu siapa sesungguhnya sumber penyebab perubahan itu. Bukan orang tua itu, tetapi Alia, istrinya sendiri.

"Ceritakan semuanya, Alia, ceritakan," pinta Arman dengan lembut sambil memeluk istrinya. Alia memejamkan matanya. Kalau boleh memilih, ia justru ingin tetap bungkam dan mencoba mengubur kenangan masa silam itu. Wajahnya tampak berat. Alangkah sukarnya menghapus kenangan buruk itu. Alia memandang wajah suaminya. Dari sorot mata Arman, Alia tahu suaminya kali ini tidak ingin dibantah.

2. Lebaran. Tanah boleh basah. Udara boleh lembap. Angin menyelusup di sela-sela daun gugur. Awan kelabu. Matahari sembunyi di baliknya. Hujan tiba-tiba rajin membasahi bumi. Kota menjadi basah. Terus-menerus basah. Juga jalan-jalan dan halaman rumah. Orang-orang bergegas menghindarinya. Genteng-genteng coklat di perumahan yang tumbuh merapat, berubah warna menjadi lebih tua dari biasanya.

Lebaran. Bau rumput dan dedaunan basah. Di halaman. Di taman-taman kota. Itu kemewahan tersendiri dalam kehidupan metropolitan yang akrab dengan debu dan polusi. Ya, tak ada alasan untuk tidak mencintai hari Lebaran. Ketika bumi sejenak istirah, dan matahari terasa lebih ramah. Ya, ya, bukan hanya matahari. Karena orang-orang juga berwajah lebih ramah daripada biasanya. Ada senyum di bibir. Di mata. Di hati. Ya, inilah hari Lebaran. Pada hari Lebaran, langit boleh kelabu, tapi tidak hatimu. Ini hukum tak tertulis yang seharusnya diyakini setiap orang ketika hari yang fitri itu datang. Seperti yang selama ini Alia yakini. Diam-diam.

Tapi tidak kali ini. Karena hantu dari masa silam itu telah datang. Lorong kelabu yang dalam dari masa silam itu muncul kembali dan siap menenggelamkannya. Padahal telah lama ia berupaya menghapus bayangan itu agar lenyap dari hatinya. Upaya itu sia-sia belaka, sama sia-sianya mencoba mencegah matahari terbit dari timur. Ya, setiap orang punya masa silam yang mungkin terlalu pahit untuk dikenangkan kembali. Alia percaya, selalu ada sebuah kamar rahasia dalam hatimu, tempat kaubisa menyimpan semua cerita dukamu, dan menguncinya rapat-rapat karena kau enggan berbagi dengan orang lain. Atau kau tak menghendaki cerita itu tiba-tiba meluncur dari mulutmu. Dalam hati kau berharap waktu bisa menyembuhkan luka masa silammu. Tapi ternyata tidak mudah. Karena waktu ternyata memiliki luka dan dukanya sendiri.

Diam-diam, terbayang kembali di benaknya peristiwa beberapa hari lalu. Rintik hujan gerimis dan bumi yang basah saat itu mempercepat terbukanya kembali luka-luka itu. Saat itu seorang lelaki tua tiba-tiba telah berdiri di ambang pintu rumahnya. Alia pangling. Namun, ia masih bisa mengenali lekuk-lekuk wajah lelaki tua itu yang tersimpan rapat-rapat di lubuk hatinya.

"Bapak?!" Suaranya terkesiap dan terkesan gamang. Ah, alangkah cepat tahun-tahun berlari. Lebih 30 tahun sudah, semenjak terakhir ia bertemu dengan orang tua itu.

"Siapa, Alia?" Arman muncul dan berdiri di belakangnya, ikut menatap dengan pandangan bertanya kepada tamu yang datang tanpa diundang. Hening sesaat. Hanya suara hujan yang asyik menari di atas genteng yang pucat coklat. Di antara daun-daun tanaman penghias halaman.

Alia masih terkesima, tak tahu harus berkata apa. Orang tua itu, dengan suara pelan, memperkenalkan dirinya kepada Arman. Dengan sebat Arman mempersilahkan orang tua itu masuk ke rumah mereka.

Begitulah, tiga hari berlalu semenjak kehadiran ayahnya yang begitu tiba-tiba di rumah mereka. Tiga hari yang meletihkan sekaligus menyakitkan. Karena Alia --tanpa diinginkannya-- terpaksa mengingat kembali luka-luka kehidupan masa silamnya. Ia harus mengakui dengan getir: semua ceritanya kepada keluarganya selama ini dusta!

3. Masa kecil Alia sesungguhnya tidak terlalu buruk. Memang tidak bisa dibandingkan dengan anak-anak sekarang yang terbiasa dengan berbagai permainan elektronik dan komputer. Namun, tetaplah bukan masa kecil yang buruk. Justru ia merasa masa kanak-kanaknya lebih berwarna dibandingkan anak-anak sekarang. Ia dapat menikmatinya secara wajar bersama teman-teman di desanya. Bermain di bawah sinar bulan, membuat sendiri permainannya, atau berlarian di pinggir sungai mengejar capung yang beterbangan. Alia kecil juga cukup bangga dengan ayahnya yang pernah ikut berjuang pada masa revolusi kemerdekaan dulu sehingga memperoleh bintang gerilya yang terbuat dari perunggu. Ayahnya selalu memamerkan bintang gerilya itu dengan bangga kepadanya.

Keadaan berubah menjelang Alia menamatkan sekolah dasar. Alia kecil tentu belum paham mengenai krisis ekonomi dan krisis politik yang terjadi di negaranya waktu itu, pada tahun 1960-an. Yang ia tahu hanyalah, makanan dan pakaian semakin sulit didapatkan. Jenis makanan favoritnya yang biasa dihidangkan ibunya menghilang dari meja makan. Bahkan ada orang mati kelaparan di desanya. Yang lebih mujur bergentayangan seperti mayat hidup berperut bengkak karena busung lapar.

Samar-samar, terdengar berita bahwa kaum komunis mencoba melakukan pemberontakan dan merebut kekuasaan. Di Jakarta, terjadi pembunuhan terhadap beberapa jenderal Angkatan Darat. Meskipun tidak paham, Alia kecil menyadari, ada sesuatu yang menakutkan menguasai sekitarnya. Ayahnya semakin sering menghadiri rapat-rapat umum dan jarang pulang ke rumah. Sikapnya semakin keras terhadap siapa pun. Bahkan terhadap keluarganya sendiri.

"Sayangku, semua itu terjadi lebih 30 tahun lalu. Banyak orang menderita karena pertarungan politik waktu itu, bukan hanya keluargamu," Arman menyela cerita istrinya. Ia mencoba menghibur Alia yang berlinangan air mata ketika mulai menceritakan masa lalu keluarganya.

Alia terdiam sejenak dan membersihkan matanya yang berkabut. Batinnya membenarkan apa yang dikatakan Arman. Politik? Ah, siapa yang tidak tahu. Politik tidak hanya mampu mengubah wajah sebuah negeri. Politik juga mampu menembus relung-relung kehidupan paling pribadi, mengubah perjalanan hidup seseorang, sebuah keluarga. Dan menghancurkannya.

"Kurasa sudah saatnya kau mengubur semua itu dan menata kembali hidupmu. Kau masih memiliki kami, aku dan anak-anak. Please, honey. Jangan biarkan masa silam memerangkapmu," Arman terus mencoba membesarkan hatinya.

Dengan mata berkaca-kaca, Alia memandang suaminya tercinta. Suasana kamar tidur mereka mendadak senyap. Ia tahu tidak semudah itu. Apa yang terjadi pada keluarganya adalah tragedi. Seperti juga dialami banyak keluarga lain pada waktu itu.

Seperti setengah bermimpi, dengan lirih Alia berkata, "Kau tahu, sayang. Permainan politik dan kekuasaan bukan hanya mampu mengubah wajah sebuah negeri, tetapi juga mampu mengubah seorang ayah menjadi makhluk kejam yang dibenci keluarganya sendiri."

"Apa maksudmu, Alia?" Alia terdiam sejenak. Bahunya bergoncang. Ia mencoba mengumpulkan kekuatan dalam dirinya. Ia merasa, sekaranglah saatnya. Ya, sekaranglah saatnya menceritakan semuanya. Berbagi beban itu dengan suami dan keluarganya tercinta.

Waktu merambat pelan. Dengan takjub Arman mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut istrinya. Diam-diam timbul kesadaran dalam dirinya: betapa selama ini ia tak cukup mengenal siapa istrinya, dan luka macam apa yang diderita dalam hati perempuan yang dicintainya itu.

Ah, siapa menyangka masa silam istrinya begitu pahit. Itu dimulai ketika ayahnya berubah sikap menjadi keras dan revolusioner. Tidak hanya terhadap orang-orang sedesa yang dinilainya berbeda aliran politik, tetapi juga kepada keluarganya sendiri.

"Ketika Ibu membanting tulang untuk menghidupi keluarga, Bapak malah menghabiskan waktunya untuk kepentingan partai. Aku malah pernah melihat Bapak memukuli seorang sepupunya sendiri bernama Sapardi, sampai babak belur dan pingsan, hanya karena berbeda pandangan politik. Kau bisa membayangkan kalau ayahmu berubah menjadi seorang algojo yang siap mengganyang siapa saja yang berbeda pandangan dengannya? Aku pernah mengalaminya. Aku pernah melihatnya langsung beraksi dengan tongkat kayu jati kesayangannya. Kau bisa membayangkan perasaanku sebagai anak-anak waktu itu, Mas Arman?"

Arman menggeleng. Masa kanak-kanaknya jauh lebih beruntung daripada Alia. Ia tahu trauma semacam itu tentu akan membekas bertahun-tahun di benak seorang anak. Terukir seperti lukisan kuno di dinding goa yang gelap.

Puncaknya adalah ketika sang Bapak memutuskan meninggalkan keluarganya untuk mengawini seorang perempuan muda aktivis partainya, dekat menjelang peristiwa pemberontakan yang akhirnya membawa sang Bapak dan orang-orang partainya ke balik tembok penjara.

"Kami --termasuk almarhum Ibu-- lalu meninggalkannya. Kami hapuskan nama Bapak dari hidup kami," suara Alia terdengar begitu dingin. "Oh, sayangku," Arman memeluk istrinya. "Maafkan aku karena tidak pernah mengetahui masa lalumu yang begitu pahit. Kenapa tidak dari dulu kau berbagi cerita dan kesedihanmu denganku dan anak-anak kita?"

"Aku tidak tahu. Kucoba melupakannya, ternyata tidak mudah melakukannya." Dengan mata berkaca-kaca Arman memandang istrinya yang tampak begitu kusut dan letih.

"Apa yang harus kulakukan?" Nada suara Alia terdengar begitu putus asa. Hening sejenak. Waktu berlalu tanpa suara, sebelum lelaki berwajah sabar itu kembali memeluk istrinya, berbisik dengan lembut ke telinganya, "Aku tahu apa yang harus kau lakukan, Alia. Berdamailah dengan dirimu sendiri. Kau pasti bisa melakukannya. Aku dan anak-anak akan mendukungmu sepenuhnya."

4. Fajar mulai merekah di ufuk timur. Suara takbir terdengar bersahut-sahutan dari pengeras suara masjid. Dunia mulai terbangun. Bapaknya tampak terperanjat begitu menyadari kehadirannya. Suasana taman di depan rumah Alia menjadi sunyi sesaat. Alangkah sulitnya bagi Alia memulai percakapan di antara mereka.

Awalnya, yang muncul hanyalah kalimat-kalimat pendek, percakapan yang tersendat-sendat mengenai hal-hal remeh. Sampai akhirnya justru orang tua itu yang lebih dulu menyinggung masa lalu mereka.

"Bapak mengira akan tahan menghadapi semua ini, Alia. Ah, kesepian itu, alangkah mengerikan. Semoga kau tidak akan pernah mengalami di masa tuamu nanti."

Alia diam, berharap orang tua itu menyelesaikan kalimatnya. "Bapak telah banyak melakukan kesalahan dalam hidup, sampai dimusuhi anak-anak sendiri. Itu mimpi paling buruk bagi setiap orang tua."

Orang tua itu menyinggung keinginannya yang telah disimpan bertahun-tahun. Ia bercerita bagaimana sedikit-sedikit ia mencoba mengumpulkan keberanian untuk menemui anak-anaknya.

"Bertahun-tahun keinginan bertemu kau dan adik-adikmu Bapak buang jauh-jauh. Bapak merasa kehilangan muka. Kesalahan Bapak terlalu besar kepada kalian dan kepada almarhum ibumu."

Kebekuan di hatinya mulai mencair seperti kotak eskrim terkena sinar matahari. Ia menangkap getar kepedihan dari suara bapaknya. "Pada akhirnya Bapak datang juga ke sini. Mengapa?" Sejenak orang tua itu terdiam. Suara burung menyapa pagi bergema di halaman.

"Maaf dari anak-anak di hari Lebaran. Itu yang mendorong Bapak menemuimu. Bertahun-tahun Bapak berdoa agar bisa diterima kembali oleh anak-anakku. Sebelum Tuhan?," sang ayah menunduk, tidak mampu menyelesaikan kalimatnya.

Terang tanah. Namun, Alia masih dapat merasakan kehadiran embun di halaman, membuat batinnya ikut merasakan kesejukan. Mendadak ia terdiam, kehilangan kata-kata, masih terkesima dengan apa yang baru saja didengarnya.

Entah apa yang menggerakkannya, tiba-tiba saja Alia menghampiri orang tua itu. Ia mencoba tersenyum dan menarik tangan orang tua itu ke dalam genggamannya. Tanpa kata. Alia tidak tahu, apakah sekarang ia sudah bisa memberi maaf sepenuhnya kepada orang tua itu. Namun, jika ada pertanyaan dari suaminya nanti, ia akan menjawab: ia telah siap terlahir kembali sebagai manusia baru yang mencoba berdamai dengan diri dan masa silamnya sendiri.

Jakarta, Ramadhan 1425 H

10.9.10

DOA DAN TINDAKAN

"Masalah yang terjadi karena kurangnya tindakan, hanya bisa diperbaiki dengan tindakan.

Orang yang berdoa tapi tidak bertindak, berdoa lagi dan tetap tidak bertindak, dan hanya berdoa tanpa bertindak, beresiko kehilangan kepercayaan kepada doanya sendiri.

Jika kita telah melebihkan doa tetapi kurang bertindak, kita harus melebihkan tindakan tanpa mengurangi doa.

Tindakan adalah bukti keseriusan doa."
-Mario Teguh-

4.9.10

MAKNA GERAKAN SHOLAT


Agan dan Aganwati berikut ini ane gambarkan makna gerakan sholat dari simbol setiap gerakan dengan nara sumber dari kakek tua banget dulu banget. Semoga jadi pendekatan untuk Agan dan Aganwati lebih memahami dan memicu untuk mempelajari lebih dalam lagi, sehingga ibadah Sholat Semakin Mantap
1. Takbiratul Ihram (Awal dan Akhir)
Pengawalan segala sesuatu, sbgm hidup dimulai kelahiran, sesuatu yg ada pasti ada awalnya. Dengan keimanan kita yakin bahwa semuanya berawal dari Allah. Maka dengan takbir kita mengembalikan kepada segala aktivitas kita adalah karena Allah, ujung rantai dari awal segala awal, tidak karena guru, orang tua, orang lain (rantai pengetahuan bahwa kita harus Sholat) atau karena rantai rasa takut, rasa terpaksa, tapi karena ujung rantai rasa itu sendiri Allah sang Pencipta Rasa. Takbiratul Ihram sebagai starting point Sholat, simbol starting perjalan hidup. Maknanya penyerahan totalitas pada yang Maha Awal bahwa karenaNya ada dan karenaNYa melakukan perjalanan hidup.
2. Berdiri (Gerak Perjalanan)
Berdiri lambang siap berjalan menjelajahi kehidupan, karena kalo duduk tidak mungkin berjalan, Tegak artinya kehidupan harus ditegakkan (ditumbuhkan) pada ruang waktu, iman harus ditegakkan, akhlak harus ditegakkan, amalan pribadi dan amalan sosial harus ditegakkan. Hadist : Sholat adalah tiang agama (agama didirikan/ditegakkan oleh sholat). Sebagaimana pohon tegak lalu pada titik ketinggian optimum kemudian berbuah. Dalam perjalanan itu kita memakan energi di bumi lalu diproses dengan aturan hukum Allah dan memeliharanya supaya tidak dirusak hama/penyakit untuk menghasilkan buah (hakikat hidup). Buah itu untuk bekal perjalanan kehidupan selanjutnya. Tanpa tegak ruang hidup tidak ada, karena tegak, maka ada titik atas dan bawah dalam satu garis dan bergerak sehingga menciptakan ruang. Sederhananya karena kita berdiri tinggi atap rumah kita tidak kurang dari 1 m, tapi bahkan lebih tinggi dari badan kita. Sehingga ada ruang rumah yang harus diisi. Begitu juga hidup jasmani dan ruhani kita harus ditegakkan dan ruang yang dihasilkannya harus diisi dengan keimanan, amal kebaikan, kesholehan, pengabdian yang iklas kepada Allah, dsb. Dalam tegak berdiri, posisi kepala tunduk, artinya dalam perjalanan hidup akan tunduk dan patuh pada segala Hukum dan Kehendak Allah bebas dari rasa kesombongan diri.Kedua tangan memegang ulu hati, simbol bahwa hati akan selalu dijaga kebersihannya dalam perjalanan hidup.
3. Rukuk (Penghormatan)
Mengenal Allah lewat hasil ciptaanNya . Dalam perjalanan hidup, pada ruang ciptaan Allah kita menemukan, menyaksikan dan merasakan bermacam-macam hal : tanah, air, gunung, laut, hewan, sistem kehidupan, rantai makanan, rasa senang, rasa sedih, rasa marah, kelahiran, kematian, pertengkaran, percintaan, ilmu alam, pikiran, manusia sekitar kita, Nabi Rosul , dsb pokoknya semua yang kita tahu dan kita rasa. Ini bukti bahwa Allah itu Ada sebagai Pencipta dari semua itu.
Dan kita tahu apabila tanpa petunjuk para Utusan Allah (Nabi dan Rosul) kita tidak akan tahu jika semua itu ciptaan Allah, dan dengan para UtusanNya kita tahu tujuan arah hidup serta cara mengisi hidup agar selamat. Sebagai contoh : suku primitif tanpa adanya bimbingan Agama, sesuai fitrah manusia tetap mengamati alam dan menyimpulkan bahwa ada yang menciptakan, tapi tidak tahu siapa Sang Pencipta sebenarnya, sehingga diekspresikan pada penyembahan batu, patung yang dianggap memiliki kekuatan penciptaan. Jadilah kita menghormati Para Utusan Allah (Rosul, Nabi, Malaikat) yang telah mengenalkan Allah pada kita serta menghormati langit bumi berserta isinya, serta termasuk kepada siapa yang mengenalkan Tuhan kepada kita seperti orang tua, guru. Penghormatan sebagai rasa terimakasih kita bahwa kita jadi tahu Tuhan itu seperti apa. Dalam penghormatan juga sebagai dinyatakan keinginan berpartisipasi untuk ambil bagian dalam pemeliharaan Ciptaan Allah ini dan tidak ingin merusaknya.
4. Itidal (Puja-puji pada Allah)
Kemudian kita berdiri lagi untuk mengisi perjalanan hidup dengan penuh puja dan puji pada Allah serta penuh syukur setiap saat sehingga tercipta kepatuhan dan ketaatan. Dengan mengetahui hasil ciptaan Allah maka akan tumbuh kekaguman dan kecintaan pada Allah sehingga tumbuh rasa cinta dan iklas atau dengan senang hati menjalani hidup sesuai Kehendak Allah.
5. Sujud (penyatuan diri dengan Kehendak Allah)
Jika berdiri di analogikan dengan perjalan jasadi maka Sujud dengan kaki dilipat, atau setengah berdiri adalah simbol dari perjalanan hati (rohani). Dangan sujud hati dan fikiran kita direndahkan serendahnya sebagai tanda ketundukan total pada segala kehendak Allah dan mengikuti segala kehendak Allah. Menyatu kan kehendak Allah dengan Kehendak kita. Contohnya :
Allah maunya kita Sholat, ya ane juga mau Sholat, kalo kata Allah jangan lakukan ya ane juga tidak akan lakukan, Kalau Allah tidak suka ya ane juga tidak suka, Kalau Allah cinta atau suka ya ane juga cinta dan suka pokoknya akin selalu sama (dan sehati) tidak akan sedikitpun bertentangan.
Dengan merekatkan kepala pada bumi dimana bumi adalah asal, tempat hidup dan tempat akhir hidup. Di bumi kita lahir di bumi kita menjalani waktu kehidupan, di bumi kita berladang amal, bumi menjadi saksi seluruh hidup kita, di bumi kita mati, di bumi kita dihukum (alam kubur). Merekatkan diri ke Bumi, bahwa awal dan akhir manusia dari dan ke bumi, berharap pada saat kematian keadaan diri kita sama saat dengan saat dilahirkan, yaitu dalam keadaan suci, sehingga bisa bertemu Allah.
Sujud dilakukan 2 kali dimaknai
Sujud pertama : penyatuan Kehendak Allah dengan Kehendak ruhani/hati/jiwa. Diselangi permohonan pada duduk antara 2 sujud
Sujud kedua : pernyataan Pengagungan Dzat Nya Allah personal antara makhluk dan Sang Pencipta, pernyataan ingin kembali pada Sang Pencipta akhir dari perjalanan.
6. Duduk antara 2 Sujud (Permohonan)
Pengungkapan berbagai permohonan pada Allah untuk memberikan segala kebutuhan yang diperlukan dalam bekal perjalanan menuju pertemuan dengan Allah, butuh sumber dukungan hidup jasmani dan ruhani, serta pemeliharaan dan perlindungan jasmani ruhani agar tetap pada jalan Allah.
7. Attahiyat : Pernyataan Ikrar
Tahap pemantapan, Karena perjalan hidup itu naik turun dan fitrah manusia tidak lepas dari sifat lupa maka perlu pemantapan yang di refresh dan diulang untuk semakin kokoh. Yaitu Ikrar Syahadat, dengan simbol pengokohan ikrar melalui telunjuk kanan. Sebelum Ikrar memberikan penghormatan untuk para Utusan Allah dan Ruh Hamba-hamba Sholeh (Auliya) yang melalui merekalah kita mengenal Allah juga melalui ajaranya kita dibimbing menujuNya dan menjadikan mereka menjadi saksi atas Ikrar kita. Sholawat menjadi pernyataan kebersediaan mengikuti apa yang diajarkan Rosululloh Muhammad SAW, dan menempatkannya sebagai pimpinan dalam perjalanan kita. Salam penghormatan kepada Bapak para Nabi Nabi Ibrohim yang menjadi bapak induk ajaran Tauhid. Kemudian diakhir dengan permohonan doa dan permohonan perlindungan dari kejahatan tipuan Dajal / Iblis untuk menjaga perjalanan tetap pada keselamatan dan berhasil mencapai Allah.
8. Salam
Salam adalah ucapan yang mengakui adanya manusia lain yang sama-sama dalam perjalanan (aspek kemasyarakatan) menunjukkan bahwa hidup ini tidak sendiri, sehingga hendaknya menyebarkan salam dan berkah kepada sesama untuk saling bahu membahu menegakkan kehidupan yang harmonis (selaras) dan tegaknya kedamaian, kesejahteraan dan keselamatan di bumi Allah.
Salam adalah penutup sekaligus awal dari mulainya praktek aplikasi Sholat dalam bentuk aktivitas kehidupan di lapangan hingga ke Sholat berikutnya. Nah salam itu simbol dari putaran yang dimulai dari kanan ke kiri dengan poros badan. Jika dihubungkan dengan Hukum Kaidah Tangan Kanan berarti arah energi ke atas, simbolisasi bahwa perjalanan digantungkan pada Allah SWT (di atas) sebagai penjamin keselamatan dalam

Benarkah Jika Sholat dan Doa Naik Ke Langit?

Kita mungkin pernah bertanya kenapa harus solat menghadap Kiblat, juga kenapa harus ada Ibadah Thawaf, Ini juga sering jadi perenungan saya seperti ini :

1. Ketika mempelajari Kaidah Tangan Kanan (Hukum Alam), bahwa putaran energi kalau bergerak berlawanan dengan arah jarum jam, maka arah energi akan naik ke atas akan naik ke atas. Arah ditunjukkan arah 4 jari, dan arah ke atas ditunjukkan oleh Arah Jempol.


2. Dengan pola ibadah thawaf dimana bergerak dengan jalan berputar harus berlawanan jarum jam, ini menimbulkan pertanyaan, kenapa tidak boleh terbalik arah, searah jarum jam misalnya.



3. Kenapa Solat harus menghadap Kiblat, termasuk dianjurkan berdoa dan pemakaman menghadap Kiblat
4. Kenapa Solat Di Masjidil Haram menurut Hadist nilainya 100.000 kali dari di tempat sendiri.
5. Singgasana Tuhan ada di Langit Tertinggi

Dari perenungan didapat :

1. Solat dan Doa adalah pemujaan terhadap Tuhan Semesta Yang Maha Tunggal, kita memerlukan hubungan intens dengan-Nya. Sehingga tercipta Hubungan Sang Pencipta dan yang diciptakan (makhluk) secara dua arah.

2. Pada saat Solat dan Doa kita yakin mengeluarkan energi, Pikiran dan Hati yang Fokus/Konsentrasi adalah generatornya. Sebagaimana kita bekerja yang mengeluarkan energi, dan dari energi tersebut menjadikan hasil, barang dan jasa. Hukum Kekekalan Energi mengatakan bahwa energi tidak dapat dimusnahkan hanya dapat berubah bentuk, lalu kemana Energi Solat dan Doa kita?

3. Solat diharuskan menghadap Kiblat, berarti arah Energi terfokus ke arah Kiblat dan akan bertanya lagi setelah dari Kabah akan kemana larinya Energi solat?

4. Kalau Solat Berjamaah nilainya lebih tinggi 27 kali lipat.

5. Di Kabah ada ibadah Thawaf yang kapan saja orang boleh melakukannya tanpa terikat aturan waktu.

Perenungan Sintesa :

1. Energi Solat dan Doa dari individu atau jamaah seluruh dunia terkumpul dan terakumulasi di Kabah setiap saat, karena Bumi berputar sehingga solat dari seluruh Dunia tidak terhenti dalam 24 jam, misal orang Bandung solat Dzuhur, beberapa menit kemudian orang Jakarta Dzuhur, beberapa menit kemudian Serang Dzuhur, Lampung dan seterusnya. Belum selesai Dzuhur di India Pakistan, di Makasar sudah mulai Ashar dan seterusnya. Pada saat Dzuhur di Jakarta di London Sholat Subuh dan seterusnya 24 jam setiap hari, minggu, bulan, tahun dan seterusnya.

2. Energi yang terakumulasi, berlapis dan bertumpuk akan diputar dengan generator orang-orang yang bertawaf yang berputar secara berlawanan arah jarum jam yang dilakukan jamaah Makah sekitarnya dan Jamaah Umroh / Haji yang dalam 1 hari tidak ditentukan waktunya.

3. Maka menurut implikasi hukum Kaidah Tangan Kanan bahwa Energi yang terkumpul akan diputar dengan Tawaf dan hasilnya kumpulan energi tadi arahnya akan ke atas MENUJU LANGIT. Jadi Sedikit terjawab bahwa energi itu tidak berhenti di Kabah namun semuanya naik ke Langit. Sebagai satu cerobong yang di mulai dari Kabah. Menuju Langit mana atau koordinat mana itu masih belum nyampe pikiran saya. Yang jelas pasti Tuhan telah membuat saluran agar solat dan doa dalam bentuk energi tadi agar sampai Ke Hadirat Nya. Jadi selama 24 Jam sehari terpancar cerobong Energi yang terfokus naik ke atas Langit. Selamanya sampai tidak ada manusia yang solat dan tawaf (kiamat?).


4. Untuk simplifikasi pemahaman kira-kira dapat di analogikan proses ini dengan internet, sebagai berikut :
a. Solat individu dianalogikan dengan PC,

b. Solat menghadap kiblat adalah arah koneksi (menghadap Kiblat adalah fisik lahir terlepas dari isi/konten doa)

c. Tawaf adalah Router Utama yang bertindak sebagai generator

d. Energi ke atas adalah Hyper Main Bandwith menuju Maha Server di Singgasana (bukan harfiah) Tuhan

e. Speed Koneksi individu pelaku solat ditentukan tingkat ke Khusuan dan ke Iklasan (PC= Kualitas Operating System, kualitas Hardware, Kualitas Software, tingkat kontaminasi virus, Struktur Data, Kelengkapan Pheriferal, dan kekokohan firewall dari virus/trojan/malware/secam (Setan)).

f. Koneksi yang sempurna tentu akan memudahkan Penyembahan pada Tuhan (up load) dan memahami sepenuhnya Kehendak Tuhan. Sehingga konon jika solat orang beriman akan membuat batin lebih tenang dan jiwa lebih sehat (download upgrade, anti virus, nambah ilmu, keberkahan, keselamatan, kasih sayang, kearifan, rejeki lahir batin dsb)

g. Niat adalah start up total yang terealisasi, mulai Sistem Operasi, Kesiapan Hardware dan Sotware, fokus koneksi. Karena niat jika tidak direalisasikan dengan fokus hardware (Wudu, gerakan fisik menghadap Kiblat, gerakan solat, pengertian doa solat) dan software (Hati/rasa dan Pikiran secara virtual menghadap Maha Raja Pencipta) dihawatirkan koneksi tidak terjadi, dan energinya akan terbuang tidak terfokus. Jika hukum kekekalan energi berlaku, maka energi solat akan tidak sampai dan disinyalir akan dimanfaatkan oleh setan untuk memperkuat diri.

5. Orang yang solat di Masjidil Haram mendapat point 100.000 kali, mudah dimengerti karena solatnya pada kumparan energi dasyat dari jamaah solat di seluruh dunia yang berkumulasi dan bertumpuk. Sehingga speednya lebih tersundul dan dekat dengan access point Router Utama (Kabah). Artinya speed koneksinya berbanding 100.000 kali kecepatan di tempat sendiri.

6. Kalau solat berjamaah akan mendapat point 27 kali, kira-kira itu diibaratkan penyatuan energi dari para jamaah sehingga speed untuk naik ke Langit 27 kali lebih cepat. Kira-kira analoginya jika solat sendiri 60 kbps (khusyu), maka dengan solat berjamaah menjadi 1,62 Mbps.

7. Kenapa ada pula anjuran solat rawatib dan solat-solat sunat, dhuha, tahajud, tarawih, dan doa menghadap Kiblat, kira-kira dapat dianalogikan makin sering Koneksi dengan Tuhan akan semakin baik dan speed koneksinya makin masive dan hingga dirinya membentuk internal modem (sehingga tidak terikat arah koneksi=berdoa dimana saja kapan saja=diluar solat) . Dan sebaliknya apabila solatnya malas-malasan dan terpaksa, kemungkinan DC (disconected) akan sering atau lemot koneksinya.

8. Bumi bertawaf, ya analogi tawaf di Kabah, karena berputar berlawanan dengan arah jarum jam. Dan akan kiamat apabila berputar dengan sebaliknya (matahari terbit dari Barat).

9. Malaikat pun bertawaf di suatu tempat Baitul Makmur (galaxy?), analogi tawaf Kabah, tentu arah putarannya berlawanan jarum jam dan arah energinya ke atas pula. Ini sedikit hipotesa, bahwa energi yang naik ke langit dari Bumi tadi akan terkumpul di tempat tawaf para Malaikat untuk diteruskan dan diperkuat menuju Singgasana Tuhan Yang Maha Perkasa.

10. Tarian Sufi Turki juga berputar melawan putaran jam (Kaidah Tangan Kanan)

Renungan Kesimpulan

1. Solat dan Doa, diyakini akan sampai ke langit menuju Singgasana Tuhan selama memenuhi kira-kira persyaratan uraian di atas dengan sintesa (gabungan/Ekstrasi) renungan hukum agama dan hukum alam, karena dua-duanya ciptaan Tuhan juga. Jadi hendaknya ilmuwan dan agamawan bersinergi/ saling mendukung untuk mencapai kemaslahatan yang lebih luas dan pemahaman agama yang dapat diterima lahir batin

2. Memantapkan kita dalam beribadah solat khususnya dan menggiatkan diri untuk selalu on-line 24 jam dengan Tuhan, sehingga jiwa akan selalu terjaga dan membuahkan segala jenis kebaikan yang dilakukan dengan senang hati (iklas).

3. Menjawab kalo solat itu tidak menyembah batu (Kabah) seperti yang dituduhkan kaum orientalis, tapi menggunakan perangkat alam untuk menyatukan energi solat dan doa untuk mencapai Tuhan dengan upaya natural manusia.

4. Tuhan Maha Pandai, Maha Besar dan Maha Segalanya

Demikian renungan ane gan, semoga saja mampu memotivasi agan-agan dan para Pakar untuk memicu pemikiran, penelitian lebih dalam untuk lebih mempertebal keimanan dan menjadi saksi bahwa Tuhan menciptakan semesta dengan penuh kesempurnaan tidak dengan main-main (asal jadi) sehingga makin yakin dan cinta pada Tuhan Yang Maha Esa. Mungkin renungan ini berlebihan dan berfantasi, tapi sedikitnya ini pendekatan yang mampu menjawab pertanyaan sebagaimana di atas dan tidak bertentangan dengan Kitab Suci dan Hadist bahkan mendukungnya.Wallahu a'lam
Semoga bermanfaat...