28.10.10

Lelaki Yang Takut Jatuh Cinta

Cerpen Sakti Wibowo

Belum menikah?" tanya saya pada laki-laki di hadapan saya yang rautnya telah bertambah tua.
Yat, teman saya ini, mungkin tak tepat untuk saya sebut sebagai teman sebab usia kami yang terpaut
begitu jauh. Garis-garis dewasa-untuk saya menghindari kata tua-begitu nyata saya tangkap dari
wajahnya. Kerutan ada di sekitar mata dan pipinya.

la menggeleng. Ini sudah jawaban paling baik yang saya dapatkan. Biasanya, kalau menghadapi
pertanyaan semacam itu, hanya senyum kecut yang ia berikan dan buru-buru mengajak beranjak
pada pembicaraan lain.

Tentu anakmu sudah besar, ya, Wie!" gumamnya seraya menyelai jemari tangan. Mungkin ia
menyembunyikan resah.

"°Ya, yang pertama masuk SD tahun ini. Kalau yang kecil, sekarang sudah empat tahun."

"Bahagia?"

Saya pikir, saya tak perlu menjawab pertanyaannya itu sebab definisi bahagia tiap-tiap orang
mungkin berbeda. Lagi pula, apakah menjawab ya atau tidak itu sesungguhnya yang menjadi
pertanyaannya?

Saya hanya menangkap resah itu. Resah yang bisa dibaca nyaris di setiap geraknya, pandangannya
yang tidak fokus dan sering berpindah-pindah sebagaimana juga pembicaraannya yang selalu
berpindah dari satu topik ke topik yang lain, mengalir begitu deras.
"Tiga tahun lagi usiaku empat puluh. Sudah tua, ya

Saya segera menghitung umur saya sendiri. Oktober tahun lalu, seperempat abad telah terlampaui,
dan saya pun telah merasa napas 'tua' merasuki raga saya. Lantas, apakah saya akan membantah
kalimatnya bahwa perbedaan dua belas tahun itu tak cukup menyebutnya tua?

"Manusia boleh tua usia, Mas," hibur saya. "Yang penting, kan, semangatnya. Saya ingin tetap
muda kendati saya sendiri sekarang sudah mulai tua."

"Apa aku cukup pantas diaebut bersemangat muda?" "Kenapa tidak?"

"Hm, entahlah, Wie mungkin takdirku sendiri begini.°"Maksudnya?'°

"Sebenarnya aku ingin menikah, tapi aku selalu takut jatuh cinta."

Lantas, tanpa menunggu reaksi saya atas kalimat yang 'mengejutkan' itu, ia telah berlalu dari
hadapan saya. la berjalan, menunduk. Dukanya mengais-ngais jalan.

memang terkadang menakutkan. Sungguh wajar baginya untuk mengatakan ia takut jatuh
cinta. Yat-begitu biasa dia dipanggil kendati itu bukan potongan dari salah satu suku kata
pembentuk namanya-memiliki pengalaman yang 'menyakitkan' dalam cinta.

Seperti remaja kebanyakan, saat usia SMA, ia pernah jatuh cinta pada seorang wanita, rekan
sekelasnya. Cinta monyet, kata orang. Namun untuk ukuran remaja, hubungan percintaan mereka
terbilang awet. Cinta pertama yang begitu romantis, saling berkirim surat-kendati berbicara
langsung sebenarnya lebih praktis dan tanpa Maya karena keduanya yang berada dalam satu kelas
selama tiga tahun sebagaimana romansa khas remaja.

Namun, di semester terakhir sekolahnya, si wanita menderita sakit parah dan berakhir pada
kematian, tepat pada saat teman-temannya yang lain menempuh ujian SMA. Irulah yang membuat
Yat kacau-balau menyelesaikan lembar lembar tes dan membuat ia tak bisa diterima di perguruan
tinggi mana pun.

Cukup lama Yat dicekam kesedihan oleh kepergian teman dekat tersebut. Diausuh ia yang tak juga
mendapat pekerjaan selulus sekolah membuat kondisinya semakin memprihatinkan. Untunglah,
pada akhirnya ia menemukan semangat hidup itu dan kembali bisa berdiri untuk memperjuangkan
hidupnya. Meski tertatih-tatih, ia bisa keluar dari lingkaran duka itu dan memulai kembali
sejarahnya.

Kali ini, tentu saja tidaak ada yang bisa ia harapkan untuk kuliah. Bukan karena biaya, sebab
keluarganya cukup mampu menopang kuliah, asalkan tidak dalam skala kelas atas. Nilalinya-seperti
saya sebutkan-jeblok di penghujung sekolahnya. Oleh karena itu ia memilih untuk terjun langsung
dalam bursa kerja. Berbekal ijazah SMA, ia melamar dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya.

Saat telah bekerja, ia menjalin hubungan dekat dengan seorang gadis, rekan sekerja. Gadis yang
baik, sopan, lagi cantik rupawan. Orang tuanya telah merasa cocok saat Yat menyatakan ingin
menikahi gadis tersebut. Namun apa lancar, belum lagi sampai berlangsung proses lamaran, si gadis
menderita sakit parah dan kembali berujung pada kematian.

Yat terguncang. Ini pukulan kedua yang nyaris membuatnya hilang. Semangatnya timbul
tenggelam. Bergelung dalam kesedlihan itu, tubuhnya yang sempat gemuk itu kembali mengurus.
Orang tuanya tak kalah sedih, bukan saja kehilangan calon menantu yang sesungguhnya telah
mereka cintai pula, juga oleh ketidakstabilan Yat atas deraan penderitaan itu.

Hari-hari Yat adalah : murung yang murung. Semangat kerjanya hilang, demilkian juga semangat
hidup. Ini menyebabkan ia dikeluarkan dari pekerjaan, sesuatu yang sampai sekarang tak pernah
disesalinya karena ia tak pernah merasa kehilangan. Jilka ada hal besar yang hilang, kehilangan hal
kecil menjadi tidak terasa. Itu yang ia rasakan saat dipecat dan membuatnya luntang-lantung,
menjadi preman kampung yang kerjanya nongkrong dari waktu ke waktu di perempatan jalan. Kali
ini, cukup lama ia menemukan kembali dirinya yang hilang. Cukup sulit untuknya kembali bangkit
setelah tersungkur yang kedua kali.

Melewati usia tiga puluh tahun, ia kembali bekerja. Kali ini, ia menemukan tempat pelarian yang
tepat dalam pekerjaan dan menjelma sebagai orang yang gila kerja. Segala pekerjaan dilakoninya
untuk melupakan kepahitan hidup.

Lantas, entah dari mana asalnya, kembali seorang gadis menyentuh kesunyian hatinya.

Kendati mulai ragu dengan perasaannya sendiri, pada akhirnya ia merasa jatuh cinta. Gadis itu telah
mampu membuat serta kembali hadir di parasnya yang telah baya. Rasa cinta yang tutus berikut
perhatian yang tiada habis membuat Yat kembali yakin untuk menikah. Sungguh, betapa orang
tuanya bahagia mendapati anaknya telah memiliki keberanian kembali untuk mencintai seseorang,
bahkan begitu perwira berniat untuk menikah.

Tak menunggu lama, lamaran pun digelar. Hari pemikahan ditentukan. Tak perlu menunggu apa pun
sebab semua telah ada. Sebagai seorang pekerja keras yang selalu lupa waktu jika sudah tenggelam
dalam pekerjaan, Yat memiliki segala ikon keduniawian. Bukankah itu kompensasi yang tepat untuk
kegilaannya pada kerja? Ia tak perlu ribut soal biaya pernikahan sebab uangnya lebih dari cukup
untuk menggelar perhelatan akbar paling bergengsi sekalipun.

Wayang kulit telah dipesan. Janur pun telah didekor dengan meriah berikut segala perhiasan khas
orang menikah. Pesta pernikahannya akan diawali dengan upacara akad nikah di siang harinya, di
kantor KUA terdekat.

Orang-orang sudah berkumpul di kantor tersebut. Yat dan keluarganya, berikut kerabat satu
rombongan yang ingin menyaksikan peristiwa bersejarah seorang Yat. Bahagia di wajah masing-
masing.

Lantas..waktu beranjak begitu melelahkan dalam penantian. Pengantin putri tak kunjung datang. Ke
mana? Semua kepala saling berganti melongok ke ujung jalan. Jam di tangan pun telah berapa
puluh kali ditengok, berharap jarumnya berhenti agar waktu jangan segera lewat. Jam berganti dan
resah semakin berakar dalam sunyi.

Lantas, berita itu datang. Petir yang kesekian menyambar hidup Yat berkeping-keping.

"Di rumah sakit!"

Kabar yang pertama.

"Mobil yang membawa rombongan pengantin wanita mengalami kecelakaan di perempatan kota."
Kabar yang kedua.

Yat sudah mulai menjerit, bergema bergaung-gaung di ruang hatinya. Dalam pakaian pengantin, ia
memburu ke rumah sakit. Benar adanya, si calon mempelai wanita terbaring di sana, bersama nyaris
seluruh keluarganya. Semua terluka dalam kecelakaan maut itu. Sementara, mempelai wanita yang
duduk di bangku depan mobil, tepat di samping sopir, mengalami luka paling parah. Sopirnya
bahkan meninggal.

Kini, si cantik dengan make up terlihat pucat dan dandanan pengantin itu dikalungi begitu banyak
selang, infus, dan oksigen bantuan pernapasan. Napasnya satu-satu.

Tak cukup bilangan waktu itu. Maut menjemput segera. Yat tergugu saat garis lurus mewarnai
monitor pendeteksi jantung sang pengantin. Serasa napasnya turut terhenti dan dunianya habis.

Gelap. la meraung di ruang gelap matanya, pingsan.

"Belum menikah, Mas?" tanya saya beberapa tahun lalu dan selalu saya hanya mendapat jawaban
serupa, senyum kecut. Lantas, biasanya, disertai sengal dan napas yang berat dihela, ia akan
mengajak beranjak pada perbincangan yang lain.

Tapi kali ini saya telah bertekad untuk tidak mau beranjak begitu lekas. Saya masih mencari
jawabannya. Akhirnva.

"Aku takut jatuh cinta, Wie! Setiap wanita yang kucintai selalu meninggal dengan cara yang tragis,
°` alasannya, dengan pandangan yang segera dibuang ke jurusan lain, selanjutnya memaku ke tanah.
Luka yang begitu bernanah. "Itu hanya kebetulan saja, hibur saga, memahami dalamnya duka itu.

"Kebetulan? Tidak cukupkah tiga nyawa menjadi bukti?" "Itu bukan bukti. Nyatanya, tidak ada
manusia yang tidak memiliki jodoh. Itu janji Allah."

"Karna engkau tidak mengalami seperti yang kualami."*

Saya tepuk bahunya. "Karena saga bukan orang pilihan, Mas. Engkaulah yang dipilih Allah untuk
sanggup menghadapi cobaan semacam ini.°"

"Kaucoba membesarkan hatiku?"

"Saya tak perlu membesarkannya sebab sesungguhnya hatimu jauh lebih besar dari yang kauduga.
Engkau orang istimewa, Mss, karena itu Allah mengujimu dengan yang begini berat."

"Tapi aku tak akan menikah, Wie, seberapa pun kuatnva engkau merayuku."

"Ini tidak merayu, Mas, karna menikah adalah separo dari agamamu."

Beberapa tahun setelah peristiwa tragis itu.

Saya tidak tahu dari jalan mana hidayah itu datang. Semua memang rahasia. Preman kampung yang
sempat luntang lantung itu kini menjadi preman masjid kawakan. Aura religius begitu tertangkap di
parasnya yang telah menua.

"Aku melarikan diri ke sini, Wie! Tuhan begitu menenteramkan. Maka, kendati takdirku hidup
sendiri, aku merasa tidak kesepian sebab ada Dia yang selalu menemani. Saat sepi, adakah yang
lebih indah dari rasa ditemani? Saat berduka, adakah yang lebih nyaman dari rasa berkawan?
Sesungguhnya, Dia adalah kawan yang tak pernah pergi, sahabat yang tak pernah berkhianat."

Saya tersenyum, kecut, bahwa dirinya belum juga memiliki keberanian untuk menikah.

"Orang yang kucintai selalu meninggal sebelum menikah."

"Mereka memang bukan jodohmu, Mas, sebab Allahh tengah menyiapkan yang lebih baik, yang
lebih pantas untuk orang setegar dirimu."

"Apa itu ada, Wie!"

"Tidak ada manusia yang diciptakan tidak memiliki jodoh, Mas."

"Tapi, bagaimana aku akan menikah, sedangkan aku selalu takut untuk jatuh cinta."

"Mengapa harus takut?"

"Itu pertanyaan konyol. Wie! Engkau tidak mengalami seperti yang aku alami."

"Kalau begitu adanya, mengapa tidak menikah saja dengan orang yang tidak kaucintai?"

"Kau ngaco!"

"Menikah tidak harus diawali dengan cinta, bukan?"

Rautnya telah begitu tua saat duduk di pelaminan. Namun, binar itu, siapa tidak percaya bahwa itu
binar yang hanya dimiliki oleh anak muda? Seorang gadis muda duduk menyandingnya di sana.
Usia dua mempelai itu terpaut begitu jauh.

Yat, tahun ini menginjak usia tiga puluh delapan tahun, sedangkan ia gadis belum lama beranjak
dari angka dua puluh. Keduanya dipertemukan oleh seorang ustaz, melewati masa taaruf singkat,
tanpa.sebelumnya saling mengenal. Jodoh memang ajaib. Akhwat yang menyanding Yat ini adalah
seorang aktivis dakwah kampus. Belum lagi selesai kuliahnya, tetapi ia mantap mendampingi hidup
seorang Yat.

Apa yang akan saya sebutkan dari kebaikan wanita ini? Kaya, rupawan, salihah, mahirah. Memang
sungguh, akhwat semacam inilah yang tepat untuk orang setegar dan sehanif Yat. Bukankah Yat tak
perlu khawatir wanita yang dicintainya akan 'meninggai dunia' sebelum menikah Ya. sebab Yat
baru belaiar 'mencintai' wanita itu setelah ia menikah.

Seorang Wanita dan Tukang Besi


Ketika si tukang besi sedang duduk di rumahnya melepas lelah setelah seharian bekerja, tiba-tiba terdengar pintu rumahnya diketuk orang. Si tukang besi keluar untuk melihatnya, pandangannya menubruk pada sesosok wanita cantik yang tak lain adalah tetangganya.“Saudaraku, aku menderita kelaparan. Jika bukan karena tuntutan agamaku yang menyuruh untuk memelihara jiwa (hifdz al-Nafs), aku tidak akan datang ke rumahmu. Maukah engkau memberikan makanan padaku karena Allah?” Tutur wanita itu.Ketika itu, memang tengah datang musim paceklik (kemarau). Sawah dan ladang mengering. Tanah pecah berbongkah-bongkah. Padang rumput menjadi tandus hingga hewan ternak menjadi kurus dan akhirnya mati. Makanan menjadi langka, maka tak pelak kelaparan melanda sebagian besar penduduk desa itu. Hanya sebagian kecil yang masih bisa bertahan.

“Tidakkah engkau tahu bahwa aku mencintaimu? Akan kuberi engkau makanan, tetapi engkau harus melayaniku semalam,” kata tukang besi itu.Si tukang besi memang jatuh hati kepada tetangganya itu. Dia merayunya dengan berbagai cara dan taktik, namun tak juga berhasil meluluhkan hati wanita itu.“Lebih baik mati kelaparan daripada durhaka kepada Allah,” ujar wanita itu lagi sambil berlalu menuju rumahnya.

Setelah dua hari berlalu, wanita itu kembali mendatangi rumah si tukang besi dan mengatakan hal yang sama. Demikian pula jawaban si tukang besi. Ia akan memberi makanan asalkan wanita itu mau menyerahkan dirinya. Mendengar jawaban yang sama, wanita itupun kembali ke rumahnya.Dua hari kemudian, wanita itu datang lagi ke rumah tukang besi itu dalam keadaan payah. Suaranya parau, matanya sayu, dan punggungnya membungkuk karena menahan lapar yang tiada tara. Ia kembali mengatakan hal serupa. Begitu pula jawaban si tukang besi, sama dengan yang sudah-sudah.

Wanita itu kembali ke rumahnya dengan tangan kosong untuk kali ketiga.Ketika itulah, Allah memberikan hidayah-Nya kepada si tukang besi. “Sungguh celaka aku ini, seorang wanita mulia datang kepadaku, dan aku terus berlaku dzalim kepadanya,” tutur tukang besi dalam hatinya. “Ya Allah aku bertaubat kepada-Mu dari perbuatanku dan aku tidak akan mengganggu wanita itu lagi selamanya.”Si tukang besi itu bergegas mengambil makanan dan pergi ke rumah wanita itu. Diketuknya pintu rumah wanita itu. Tak lama berselang, kerekek…terlihat pintu terbuka dan muncullah sesosok wanita yang nampak kuyu. Melihat si tukang besi berdiri di depan pintu rumahnya, wanita itu bertanya, “Apa keperluanmu datang ke rumahku?”“Aku bermaksud mengantarkan sedikit makanan yang aku punya. Jangan khawatir, aku memberinya karena Allah,” jawab si tukang besi itu.“Ya Allah, jika benar apa yang dikatakannya, maka haramkanlah ia dari api di dunia dan akhirat,” tutur wanita itu seraya menengadahkan kedua tanganya ke langit.

Si tukang besi itu pulang ke rumahnya. Ia memasak makanan yang tersisa buat dirinya. Tiba-tiba secara tak sengaja bara api mengenai kakinya, namun kaki si tukang besi itu tidak terbakar. Bergegas ia menemui wanita itu lagi.“Wanita yang mulia, Allah telah mengabulkan doamu,” ujar si tukang besi.Seketika itu, wanita itu sujud syukur kepada Allah.“Ya Allah engkau telah mewujudkan doaku, maka cabutlah nyawaku saat ini juga.” Terdengar suara lirih dari mulut wanita itu dalam sujudnya. Allah kembali mendengar doanya. Wanita itupun berpulang ke Rahmatullah dalam keadaan sujud.Demikianlah kisah seorang wanita yang menjaga kehormatannya meskipun harus menahan rasa lapar yang tiada tara.

Setiap muslimah mestinya dapat mengambil i’tibar (pelajaran berharga) dari berbagai kisah wanita shalihah yang telah diuraikan di muka. Merekalah yang mestinya dijadikan suri tauladan dalam kehidupan keseharian, bukan para artis yang menawarkan gaya hidup hedonisme dan materialisme
Dikutip dari buku "Bidadari Dunia Potre Ideal Wanita Muslim", Muh. Syafi'i Al-Bantani

Tren Baru di Kalangan Wanita Terpelajar Inggris: Menjadi Mualaf


LONDON--Berita ipar Tony Blair yang mengumumkan konversi keyakinannya menjadi Muslim akhir pekan lalu membuka banyak cerita tentang para mualaf di Inggris. Harian Daily Mail menurunkan topik tak biasa di halam depan mereka: tentang tren baru keyakinan di Inggris. Hasil temuan mereka menyebut, ada tren di kalangan perempuan terpelajar di Inggris -- sebagian besar adalah wanita karier -- yang memilih Islam sebagai keyakinan baru mereka.

Ipar Tony Blair, Lauren Booth, 43 tahun, mengatakan dia sekarang memakai jilbab yang menutupi kepala setiap kali meninggalkan rumah. Ia juga mengaku melakukan shalat lima kali sehari dan mengunjungi masjid setempat kapanpun dia bisa.

Lauren berprofesi sebagai wartawan dan penyiar televisi. Dia memutuskan untuk menjadi seorang Muslim enam minggu lalu setelah mengunjungi tempat suci Fatima al-Masumeh di kota Qom. "Ini adalah Selasa malam, dan saya duduk dan merasa ini suntikan morfin spiritual, hanya kebahagiaan mutlak dan sukacita," ujarnya.

Sebelum pergi ke Iran, ia mengaku telah tertarik pada Islam dan telah menghabiskan banyak waktu untuk bekerja sebagai wartawan di Palestina. "Saya selalu terkesan dengan kekuatan dan kenyamanan berada di tengah-tengah Muslimin," katanya.

Menurut Kevin Brice dari Swansea University, yang memiliki spesialisasi dalam mempelajari konversi keyakinan, menyatakan gelombang para wanita terpelajar Inggris yang beralih keyakinan menjadi Muslim merupakan bagian dari tren menarik.

"Mereka mencari inti spiritualitas, arti yang lebih tinggi, dan cenderung untuk berpikir secara mendalam sebelum memutuskan. Namun dalam konteks ini, saya menyebutnya fsebagai fenomena "mengkonversi kenyamanan". Mereka akan menganggap agama adalah alat menyenangkan suami Muslim mereka dan keluarganya, tapi tidak akan selalu menghadiri masjid, berdoa, dan berpuasa," ujarnya.

Benarkah demikian? Kristiane Backer, wanita 43 tahun dan mantan VJ MTV yang menjadi ikon kehidupan Barat liberal yang dirindukan remaja saat mudanya, menggeleng. "Masyarakat permisif yang saya dambakan ketika muda dulu ternyata sangat dangkal, tak memberi ketenteraman batin apapun," ujarnya.

Titik balik untuk Kristiane muncul ketika dia bertemu mantan pemain kriket Pakistan dan seorang Muslim, Imran Khan pada tahun 1992. Dia membawanya ke Pakistan. Di negara kekasihnya itu, dia segera tersentuh oleh spirtualitas dan kehangatan dari orang-orang Islam di negara itu.

"Meskipun kemudian hubungan asmara saya dengan Imran Khan kandas, semangat saya mempelajari Islam tak turut kandas. Saya mulai mempelajari Islam dan akhirnya menjadi mualaf," ujarnya.

Menurutnya, Islam adalah agama bervisi. "Di Barat, kami menekankan untuk alasan yang dangkal, seperti apa pakaian untuk dipakai. Dalam Islam, semua orang bergerak ke tujuan yang lebih tinggi. Semuanya dilakukan untuk menyenangkan Tuhan. Itu adalah sistem nilai yang berbeda," tambahnya.

Untuk sejumlah besar wanita, kontak pertama mereka dengan Islam berasal dari kencan pacar Muslimnya. Lynne Ali, 31, dari Dagenham di Essex, mengakuinya. Di masa lalu, hidupnya hanyalah pesta. "Aku akan pergi keluar dan mabuk dengan teman-teman, memakai pakaian ketat dan mengerling siapapun lelaki yang ingin aku kencani," ujarnya.

Di sela-sela pekerjaannya sebagai DJ sebuah kelab malam papan atas London, ia menyempatkan ke gereja. Tetapi ketika ia bertemu pacarnya, Zahid, di universitas, sesuatu yang dramatis terjadi."Dia mulai berbicara kepadaku tentang Islam, dan itu seolah-olah segala sesuatu dalam hidupku dipasang ke tempatnya. Aku pikir, di bawah itu semua, aku pasti mencari sesuatu, dan aku tidak merasa hal itu dipenuhi oleh gaya hidup hura-huraku dengan alkohol dan pergaulan bebas."

Pada usia 19 tahun, Lynne memutuskan menjadi mualaf. "Sejak hari itu pula, aku memutuskan mengenakan jilbab," ujarnya. "Ini adalah tahun ke-12 rambut saya selalu tertutup di depan umum. Di rumah, aku akan berpakaian pakaian Barat normal di depan suami saya, tapi tidak untuk keluar rumah."

Survei YouGov baru-baru ini menyimpulkan bahwa lebih dari setengah masyarakat Inggris percaya Islam adalah pengaruh negatif yang mendorong ekstremisme, penindasan perempuan dan ketidaksetaraan. Namun statistik membuktikan konversi Islam menunjukkan perkembangan yang signifikan. Islam adalah, setelah semua, agama yang berkembang tercepat di dunia. "Bukti menunjukkan bahwa rasio perempuan Barat mengkonversi untuk laki-laki bisa setinggi 2:1," kata sosiolog Inggris, Kevin Brice.

Selain itu, katanya, umumnya perempuan mualaf ingin menampilkan tanda-tanda dari agama baru mereka - khususnya jilbab - walaupun gadis Muslim yang dibesarkan dalam tradisi Islam justru malah memilih tak berjilbab. "Mungkin sebagai akibat dari tindakan ini, yang cenderung menarik perhatian, Muslim mualaflah yang sering melaporkandiskriminasi terhadap mereka daripada mereka yang menjadi Muslimah sejak lahir," tambahnya.

Hal itu diakui Backer. "Di Jerman, ada Islamophobia. Saya kehilangan pekerjaan saya ketika saya bertobat. Ada kampanye untuk melawan saya dengan sindiran tentang semua Muslim mendukung teroris - intinya saya difitnah. Sekarang, saya presenter di NBC Eropa," ujarnya.

Hal itu diamini Lyne. "Aku menyebut diriku seorang Muslim Eropa, yang berbeda dengan mereka yang menjadi Muslim sejak lahir. Sebagai seorang Muslim Eropa, saya mempertanyakan segala sesuatu - saya tidak menerima secara membabi-buta. Dan pada akhirnya harus diakui, Islam adalah agama yang paling logis secara logika," ujarnya.

"Banyak perempuan mualaf di Inggris juga mengkonversi agamanya karena tertarik dengan kehangatan hubungan di antara sesama Muslim. "Beberapa tertarik untuk merasakan kembali nilai-nilai yang telah mengikis di Barat," kata Haifaa Jawad, dosen senior di Universitas Birmingham, yang telah mempelajari fenomena konversi agama. "Banyak orang, dari semua lapisan masyarakat, meratapi hilangnya tradisi menghargai orang tua dan perempuan, misalnya. Ini adalah nilai-nilai yang termuat dalam Quran, yang umat Islam harus hidup dengannya," tambahnya Brice.

Nilai-nilai seperti ini pula yang menarik Camilla Leyland, 32, seorang guru yoga yang tinggal di Cornwall, pada Islam. Ia seorang ibu tunggal untuk anak, Inaya, dua tahun. Ia mengaku menjadi Muslim pada pertengahan usia 20-an untuk 'alasan intelektual dan feminis'.

"Aku tahu orang akan terkejut mendengar kata-kata 'feminisme' dan 'Islam' dalam napas yang sama, namun pada kenyataannya, ajaran Alquran memberikan kesetaraan kepada perempuan, dan pada saat agama itu lahir, ajaran pergi terhadap butir masyarakat misoginis," tambahnya.

Selama ini, orang salah memandang Islam, katanya. "Islam dituduh menindas wanita, namun yang aku rasakan ketika dewasa, justru aku merasa lebih tertindas oleh masyarakat Barat."

Tumbuh di Southampton - ayahnya adalah direktur Institut Pendidikan Southampton dan ibunya seorang
ekonom - Camilla pertama kali bersinggungan dengan Islam di sekolah. Ia mengenal Islam saat kuliah dan kemudian mengambil gelar master di bidang Studi Timur Tengah. Ketika tinggal dan bekerja di Suriah, ia menemukan pencerahan spiritual.

Merefleksikan apa yang dia baca di Alquran, ia menyadari bahwa islamlah yang dicarinya selama ini. "Orang-orang akan sulit untuk percaya bahwa seorang wanita yang berpendidikan tinggi dari kelas menengah akan memilih untuk menjadi Muslim," katanya, menirukan komentar ayahnya saat itu. Namun ia mantap menjadi Muslimah.

Kini, ia yang mengaku tak pernah meninggalkan shalat lima waktu tapi belum berjilbab ini menyatakan dirinya telah "merdeka". "Saya sangat bersyukur menemukan jalan keluar bagi diri saya sendiri. Saya tidak lagi menjadi budak masyarakat yang rusak."

Red: Siwi Tri Puji B
Sumber: Daily Mail

dikutip dari : republika.co.id

26.10.10

"Menipu" Tuhan


Abu Nawas sebenarnya adalah seorang ulama yang alim. Tak begitu mengherankan jika Abu Nawas mempunyai murid yang tidak sedikit.

Diantara sekian banyak muridnya, ada satu orang yang hampir selalu menanyakan mengapa Abu Nawas mengatakan begini dan begitu. Suatu ketika ada tiga orang tamu bertanya kepada Abu Nawas dengan pertanyaan yang sama. Orang pertama mulai bertanya, "Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?"



"Orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil." jawab Abu Nawas.

"Mengapa?" kata orang pertama.

"Sebab lebih mudah diampuni oleh Tuhan." kata Abu Nawas.

Orang pertama puas karena ia memang yakin begitu.

Orang kedua bertanya dengan pertanyaan yang sama. "Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?"

"Orang yang tidak mengerjakan keduanya." jawab Abu Nawas.

"Mengapa?" kata orang kedua.

"Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu tidak memerlukan pengampunan dari Tuhan." kata Abu Nawas. Orang kedua langsung bisa mencerna jawaban Abu Nawas.

Orang ketiga juga bertanya dengan pertanyaan yang sama. "Manakah yang iebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?"

"Orang yang mengerjakan dosa-dosa besar." jawab Abu Nawas.

"Mengapa?" kata orang ketiga.

"Sebab pengampunan Allah kepada hambaNya sebanding dengan besarnya dosa hamba itu." jawab Abu Nawas. Orang ketiga menerima aiasan Abu Nawas.

Kemudian ketiga orang itu pulang dengan perasaan puas. Karena belum mengerti seorang murid Abu Nawas bertanya. "Mengapa dengan pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang berbeda?"

"Manusia dibagi tiga tingkatan. Tingkatan mata, tingkatan otak dan tingkatan hati."

"Apakah tingkatan mata itu?" tanya murid Abu Nawas. "Anak kecil yang melihat bintang di langit. la mengatakan bintang itu kecil karena ia hanya menggunakan mata." jawab Abu Nawas mengandaikan.

"Apakah tingkatan otak itu?" tanya murid Abu Nawas. "Orang pandai yang melihat bintang di langit. la mengatakan bintang itu besar karena ia berpengetahuan." jawab Abu Nawas.

"Lalu apakah tingkatan hati itu?" tanya murid Abu Nawas.

"Orang pandai dan mengerti yang melihat bintang di langit. la tetap mengatakan bintang itu kecil walaupun ia tahu bintang itu besar. Karena bagi orang yang mengerti tidak ada sesuatu apapun yang besar jika dibandingkan dengan KeMaha-Besaran Allah."

Kini murid Abu Nawas mulai mengerti mengapa pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang berbeda. la bertanya lagi.

"Wahai guru, mungkinkah manusia bisa menipu Tuhan?"

"Mungkin." jawab Abu Nawas.

"Bagaimana caranya?" tanya murid Abu Nawas ingin tahu.

"Dengan merayuNya melalui pujian dan doa." kata Abu Nawas

"Ajarkanlah doa itu padaku wahai guru." pinta murid Abu Nawas

"Doa itu adalah : llahi lastu lil firdausi ahla, wala aqwa'alan naril jahimi, fahabli taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghafiruz dzanbil 'adhimi.

Sedangkan arti doa itu adalah : Wahai Tuhanku, aku ini tidak pantas menjadi penghuni surga, tetapi aku tidak akan kuat terhadap panasnya api neraka. Oleh sebab itu terimalah tobatku serta ampunilah dosa-dosaku. Karena sesungguhnya Engkaulah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar