Cerpen Sakti Wibowo
Belum menikah?" tanya saya pada laki-laki di hadapan saya yang rautnya telah bertambah tua.
Yat, teman saya ini, mungkin tak tepat untuk saya sebut sebagai teman sebab usia kami yang terpaut
begitu jauh. Garis-garis dewasa-untuk saya menghindari kata tua-begitu nyata saya tangkap dari
wajahnya. Kerutan ada di sekitar mata dan pipinya.
la menggeleng. Ini sudah jawaban paling baik yang saya dapatkan. Biasanya, kalau menghadapi
pertanyaan semacam itu, hanya senyum kecut yang ia berikan dan buru-buru mengajak beranjak
pada pembicaraan lain.
Tentu anakmu sudah besar, ya, Wie!" gumamnya seraya menyelai jemari tangan. Mungkin ia
menyembunyikan resah.
"°Ya, yang pertama masuk SD tahun ini. Kalau yang kecil, sekarang sudah empat tahun."
"Bahagia?"
Saya pikir, saya tak perlu menjawab pertanyaannya itu sebab definisi bahagia tiap-tiap orang
mungkin berbeda. Lagi pula, apakah menjawab ya atau tidak itu sesungguhnya yang menjadi
pertanyaannya?
Saya hanya menangkap resah itu. Resah yang bisa dibaca nyaris di setiap geraknya, pandangannya
yang tidak fokus dan sering berpindah-pindah sebagaimana juga pembicaraannya yang selalu
berpindah dari satu topik ke topik yang lain, mengalir begitu deras.
"Tiga tahun lagi usiaku empat puluh. Sudah tua, ya
Saya segera menghitung umur saya sendiri. Oktober tahun lalu, seperempat abad telah terlampaui,
dan saya pun telah merasa napas 'tua' merasuki raga saya. Lantas, apakah saya akan membantah
kalimatnya bahwa perbedaan dua belas tahun itu tak cukup menyebutnya tua?
"Manusia boleh tua usia, Mas," hibur saya. "Yang penting, kan, semangatnya. Saya ingin tetap
muda kendati saya sendiri sekarang sudah mulai tua."
"Apa aku cukup pantas diaebut bersemangat muda?" "Kenapa tidak?"
"Hm, entahlah, Wie mungkin takdirku sendiri begini.°"Maksudnya?'°
"Sebenarnya aku ingin menikah, tapi aku selalu takut jatuh cinta."
Lantas, tanpa menunggu reaksi saya atas kalimat yang 'mengejutkan' itu, ia telah berlalu dari
hadapan saya. la berjalan, menunduk. Dukanya mengais-ngais jalan.
memang terkadang menakutkan. Sungguh wajar baginya untuk mengatakan ia takut jatuh
cinta. Yat-begitu biasa dia dipanggil kendati itu bukan potongan dari salah satu suku kata
pembentuk namanya-memiliki pengalaman yang 'menyakitkan' dalam cinta.
Seperti remaja kebanyakan, saat usia SMA, ia pernah jatuh cinta pada seorang wanita, rekan
sekelasnya. Cinta monyet, kata orang. Namun untuk ukuran remaja, hubungan percintaan mereka
terbilang awet. Cinta pertama yang begitu romantis, saling berkirim surat-kendati berbicara
langsung sebenarnya lebih praktis dan tanpa Maya karena keduanya yang berada dalam satu kelas
selama tiga tahun sebagaimana romansa khas remaja.
Namun, di semester terakhir sekolahnya, si wanita menderita sakit parah dan berakhir pada
kematian, tepat pada saat teman-temannya yang lain menempuh ujian SMA. Irulah yang membuat
Yat kacau-balau menyelesaikan lembar lembar tes dan membuat ia tak bisa diterima di perguruan
tinggi mana pun.
Cukup lama Yat dicekam kesedihan oleh kepergian teman dekat tersebut. Diausuh ia yang tak juga
mendapat pekerjaan selulus sekolah membuat kondisinya semakin memprihatinkan. Untunglah,
pada akhirnya ia menemukan semangat hidup itu dan kembali bisa berdiri untuk memperjuangkan
hidupnya. Meski tertatih-tatih, ia bisa keluar dari lingkaran duka itu dan memulai kembali
sejarahnya.
Kali ini, tentu saja tidaak ada yang bisa ia harapkan untuk kuliah. Bukan karena biaya, sebab
keluarganya cukup mampu menopang kuliah, asalkan tidak dalam skala kelas atas. Nilalinya-seperti
saya sebutkan-jeblok di penghujung sekolahnya. Oleh karena itu ia memilih untuk terjun langsung
dalam bursa kerja. Berbekal ijazah SMA, ia melamar dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya.
Saat telah bekerja, ia menjalin hubungan dekat dengan seorang gadis, rekan sekerja. Gadis yang
baik, sopan, lagi cantik rupawan. Orang tuanya telah merasa cocok saat Yat menyatakan ingin
menikahi gadis tersebut. Namun apa lancar, belum lagi sampai berlangsung proses lamaran, si gadis
menderita sakit parah dan kembali berujung pada kematian.
Yat terguncang. Ini pukulan kedua yang nyaris membuatnya hilang. Semangatnya timbul
tenggelam. Bergelung dalam kesedlihan itu, tubuhnya yang sempat gemuk itu kembali mengurus.
Orang tuanya tak kalah sedih, bukan saja kehilangan calon menantu yang sesungguhnya telah
mereka cintai pula, juga oleh ketidakstabilan Yat atas deraan penderitaan itu.
Hari-hari Yat adalah : murung yang murung. Semangat kerjanya hilang, demilkian juga semangat
hidup. Ini menyebabkan ia dikeluarkan dari pekerjaan, sesuatu yang sampai sekarang tak pernah
disesalinya karena ia tak pernah merasa kehilangan. Jilka ada hal besar yang hilang, kehilangan hal
kecil menjadi tidak terasa. Itu yang ia rasakan saat dipecat dan membuatnya luntang-lantung,
menjadi preman kampung yang kerjanya nongkrong dari waktu ke waktu di perempatan jalan. Kali
ini, cukup lama ia menemukan kembali dirinya yang hilang. Cukup sulit untuknya kembali bangkit
setelah tersungkur yang kedua kali.
Melewati usia tiga puluh tahun, ia kembali bekerja. Kali ini, ia menemukan tempat pelarian yang
tepat dalam pekerjaan dan menjelma sebagai orang yang gila kerja. Segala pekerjaan dilakoninya
untuk melupakan kepahitan hidup.
Lantas, entah dari mana asalnya, kembali seorang gadis menyentuh kesunyian hatinya.
Kendati mulai ragu dengan perasaannya sendiri, pada akhirnya ia merasa jatuh cinta. Gadis itu telah
mampu membuat serta kembali hadir di parasnya yang telah baya. Rasa cinta yang tutus berikut
perhatian yang tiada habis membuat Yat kembali yakin untuk menikah. Sungguh, betapa orang
tuanya bahagia mendapati anaknya telah memiliki keberanian kembali untuk mencintai seseorang,
bahkan begitu perwira berniat untuk menikah.
Tak menunggu lama, lamaran pun digelar. Hari pemikahan ditentukan. Tak perlu menunggu apa pun
sebab semua telah ada. Sebagai seorang pekerja keras yang selalu lupa waktu jika sudah tenggelam
dalam pekerjaan, Yat memiliki segala ikon keduniawian. Bukankah itu kompensasi yang tepat untuk
kegilaannya pada kerja? Ia tak perlu ribut soal biaya pernikahan sebab uangnya lebih dari cukup
untuk menggelar perhelatan akbar paling bergengsi sekalipun.
Wayang kulit telah dipesan. Janur pun telah didekor dengan meriah berikut segala perhiasan khas
orang menikah. Pesta pernikahannya akan diawali dengan upacara akad nikah di siang harinya, di
kantor KUA terdekat.
Orang-orang sudah berkumpul di kantor tersebut. Yat dan keluarganya, berikut kerabat satu
rombongan yang ingin menyaksikan peristiwa bersejarah seorang Yat. Bahagia di wajah masing-
masing.
Lantas..waktu beranjak begitu melelahkan dalam penantian. Pengantin putri tak kunjung datang. Ke
mana? Semua kepala saling berganti melongok ke ujung jalan. Jam di tangan pun telah berapa
puluh kali ditengok, berharap jarumnya berhenti agar waktu jangan segera lewat. Jam berganti dan
resah semakin berakar dalam sunyi.
Lantas, berita itu datang. Petir yang kesekian menyambar hidup Yat berkeping-keping.
"Di rumah sakit!"
Kabar yang pertama.
"Mobil yang membawa rombongan pengantin wanita mengalami kecelakaan di perempatan kota."
Kabar yang kedua.
Yat sudah mulai menjerit, bergema bergaung-gaung di ruang hatinya. Dalam pakaian pengantin, ia
memburu ke rumah sakit. Benar adanya, si calon mempelai wanita terbaring di sana, bersama nyaris
seluruh keluarganya. Semua terluka dalam kecelakaan maut itu. Sementara, mempelai wanita yang
duduk di bangku depan mobil, tepat di samping sopir, mengalami luka paling parah. Sopirnya
bahkan meninggal.
Kini, si cantik dengan make up terlihat pucat dan dandanan pengantin itu dikalungi begitu banyak
selang, infus, dan oksigen bantuan pernapasan. Napasnya satu-satu.
Tak cukup bilangan waktu itu. Maut menjemput segera. Yat tergugu saat garis lurus mewarnai
monitor pendeteksi jantung sang pengantin. Serasa napasnya turut terhenti dan dunianya habis.
Gelap. la meraung di ruang gelap matanya, pingsan.
"Belum menikah, Mas?" tanya saya beberapa tahun lalu dan selalu saya hanya mendapat jawaban
serupa, senyum kecut. Lantas, biasanya, disertai sengal dan napas yang berat dihela, ia akan
mengajak beranjak pada perbincangan yang lain.
Tapi kali ini saya telah bertekad untuk tidak mau beranjak begitu lekas. Saya masih mencari
jawabannya. Akhirnva.
"Aku takut jatuh cinta, Wie! Setiap wanita yang kucintai selalu meninggal dengan cara yang tragis,
°` alasannya, dengan pandangan yang segera dibuang ke jurusan lain, selanjutnya memaku ke tanah.
Luka yang begitu bernanah. "Itu hanya kebetulan saja, hibur saga, memahami dalamnya duka itu.
"Kebetulan? Tidak cukupkah tiga nyawa menjadi bukti?" "Itu bukan bukti. Nyatanya, tidak ada
manusia yang tidak memiliki jodoh. Itu janji Allah."
"Karna engkau tidak mengalami seperti yang kualami."*
Saya tepuk bahunya. "Karena saga bukan orang pilihan, Mas. Engkaulah yang dipilih Allah untuk
sanggup menghadapi cobaan semacam ini.°"
"Kaucoba membesarkan hatiku?"
"Saya tak perlu membesarkannya sebab sesungguhnya hatimu jauh lebih besar dari yang kauduga.
Engkau orang istimewa, Mss, karena itu Allah mengujimu dengan yang begini berat."
"Tapi aku tak akan menikah, Wie, seberapa pun kuatnva engkau merayuku."
"Ini tidak merayu, Mas, karna menikah adalah separo dari agamamu."
Beberapa tahun setelah peristiwa tragis itu.
Saya tidak tahu dari jalan mana hidayah itu datang. Semua memang rahasia. Preman kampung yang
sempat luntang lantung itu kini menjadi preman masjid kawakan. Aura religius begitu tertangkap di
parasnya yang telah menua.
"Aku melarikan diri ke sini, Wie! Tuhan begitu menenteramkan. Maka, kendati takdirku hidup
sendiri, aku merasa tidak kesepian sebab ada Dia yang selalu menemani. Saat sepi, adakah yang
lebih indah dari rasa ditemani? Saat berduka, adakah yang lebih nyaman dari rasa berkawan?
Sesungguhnya, Dia adalah kawan yang tak pernah pergi, sahabat yang tak pernah berkhianat."
Saya tersenyum, kecut, bahwa dirinya belum juga memiliki keberanian untuk menikah.
"Orang yang kucintai selalu meninggal sebelum menikah."
"Mereka memang bukan jodohmu, Mas, sebab Allahh tengah menyiapkan yang lebih baik, yang
lebih pantas untuk orang setegar dirimu."
"Apa itu ada, Wie!"
"Tidak ada manusia yang diciptakan tidak memiliki jodoh, Mas."
"Tapi, bagaimana aku akan menikah, sedangkan aku selalu takut untuk jatuh cinta."
"Mengapa harus takut?"
"Itu pertanyaan konyol. Wie! Engkau tidak mengalami seperti yang aku alami."
"Kalau begitu adanya, mengapa tidak menikah saja dengan orang yang tidak kaucintai?"
"Kau ngaco!"
"Menikah tidak harus diawali dengan cinta, bukan?"
Rautnya telah begitu tua saat duduk di pelaminan. Namun, binar itu, siapa tidak percaya bahwa itu
binar yang hanya dimiliki oleh anak muda? Seorang gadis muda duduk menyandingnya di sana.
Usia dua mempelai itu terpaut begitu jauh.
Yat, tahun ini menginjak usia tiga puluh delapan tahun, sedangkan ia gadis belum lama beranjak
dari angka dua puluh. Keduanya dipertemukan oleh seorang ustaz, melewati masa taaruf singkat,
tanpa.sebelumnya saling mengenal. Jodoh memang ajaib. Akhwat yang menyanding Yat ini adalah
seorang aktivis dakwah kampus. Belum lagi selesai kuliahnya, tetapi ia mantap mendampingi hidup
seorang Yat.
Apa yang akan saya sebutkan dari kebaikan wanita ini? Kaya, rupawan, salihah, mahirah. Memang
sungguh, akhwat semacam inilah yang tepat untuk orang setegar dan sehanif Yat. Bukankah Yat tak
perlu khawatir wanita yang dicintainya akan 'meninggai dunia' sebelum menikah Ya. sebab Yat
baru belaiar 'mencintai' wanita itu setelah ia menikah.
Belum menikah?" tanya saya pada laki-laki di hadapan saya yang rautnya telah bertambah tua.
Yat, teman saya ini, mungkin tak tepat untuk saya sebut sebagai teman sebab usia kami yang terpaut
begitu jauh. Garis-garis dewasa-untuk saya menghindari kata tua-begitu nyata saya tangkap dari
wajahnya. Kerutan ada di sekitar mata dan pipinya.
la menggeleng. Ini sudah jawaban paling baik yang saya dapatkan. Biasanya, kalau menghadapi
pertanyaan semacam itu, hanya senyum kecut yang ia berikan dan buru-buru mengajak beranjak
pada pembicaraan lain.
Tentu anakmu sudah besar, ya, Wie!" gumamnya seraya menyelai jemari tangan. Mungkin ia
menyembunyikan resah.
"°Ya, yang pertama masuk SD tahun ini. Kalau yang kecil, sekarang sudah empat tahun."
"Bahagia?"
Saya pikir, saya tak perlu menjawab pertanyaannya itu sebab definisi bahagia tiap-tiap orang
mungkin berbeda. Lagi pula, apakah menjawab ya atau tidak itu sesungguhnya yang menjadi
pertanyaannya?
Saya hanya menangkap resah itu. Resah yang bisa dibaca nyaris di setiap geraknya, pandangannya
yang tidak fokus dan sering berpindah-pindah sebagaimana juga pembicaraannya yang selalu
berpindah dari satu topik ke topik yang lain, mengalir begitu deras.
"Tiga tahun lagi usiaku empat puluh. Sudah tua, ya
Saya segera menghitung umur saya sendiri. Oktober tahun lalu, seperempat abad telah terlampaui,
dan saya pun telah merasa napas 'tua' merasuki raga saya. Lantas, apakah saya akan membantah
kalimatnya bahwa perbedaan dua belas tahun itu tak cukup menyebutnya tua?
"Manusia boleh tua usia, Mas," hibur saya. "Yang penting, kan, semangatnya. Saya ingin tetap
muda kendati saya sendiri sekarang sudah mulai tua."
"Apa aku cukup pantas diaebut bersemangat muda?" "Kenapa tidak?"
"Hm, entahlah, Wie mungkin takdirku sendiri begini.°"Maksudnya?'°
"Sebenarnya aku ingin menikah, tapi aku selalu takut jatuh cinta."
Lantas, tanpa menunggu reaksi saya atas kalimat yang 'mengejutkan' itu, ia telah berlalu dari
hadapan saya. la berjalan, menunduk. Dukanya mengais-ngais jalan.
memang terkadang menakutkan. Sungguh wajar baginya untuk mengatakan ia takut jatuh
cinta. Yat-begitu biasa dia dipanggil kendati itu bukan potongan dari salah satu suku kata
pembentuk namanya-memiliki pengalaman yang 'menyakitkan' dalam cinta.
Seperti remaja kebanyakan, saat usia SMA, ia pernah jatuh cinta pada seorang wanita, rekan
sekelasnya. Cinta monyet, kata orang. Namun untuk ukuran remaja, hubungan percintaan mereka
terbilang awet. Cinta pertama yang begitu romantis, saling berkirim surat-kendati berbicara
langsung sebenarnya lebih praktis dan tanpa Maya karena keduanya yang berada dalam satu kelas
selama tiga tahun sebagaimana romansa khas remaja.
Namun, di semester terakhir sekolahnya, si wanita menderita sakit parah dan berakhir pada
kematian, tepat pada saat teman-temannya yang lain menempuh ujian SMA. Irulah yang membuat
Yat kacau-balau menyelesaikan lembar lembar tes dan membuat ia tak bisa diterima di perguruan
tinggi mana pun.
Cukup lama Yat dicekam kesedihan oleh kepergian teman dekat tersebut. Diausuh ia yang tak juga
mendapat pekerjaan selulus sekolah membuat kondisinya semakin memprihatinkan. Untunglah,
pada akhirnya ia menemukan semangat hidup itu dan kembali bisa berdiri untuk memperjuangkan
hidupnya. Meski tertatih-tatih, ia bisa keluar dari lingkaran duka itu dan memulai kembali
sejarahnya.
Kali ini, tentu saja tidaak ada yang bisa ia harapkan untuk kuliah. Bukan karena biaya, sebab
keluarganya cukup mampu menopang kuliah, asalkan tidak dalam skala kelas atas. Nilalinya-seperti
saya sebutkan-jeblok di penghujung sekolahnya. Oleh karena itu ia memilih untuk terjun langsung
dalam bursa kerja. Berbekal ijazah SMA, ia melamar dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya.
Saat telah bekerja, ia menjalin hubungan dekat dengan seorang gadis, rekan sekerja. Gadis yang
baik, sopan, lagi cantik rupawan. Orang tuanya telah merasa cocok saat Yat menyatakan ingin
menikahi gadis tersebut. Namun apa lancar, belum lagi sampai berlangsung proses lamaran, si gadis
menderita sakit parah dan kembali berujung pada kematian.
Yat terguncang. Ini pukulan kedua yang nyaris membuatnya hilang. Semangatnya timbul
tenggelam. Bergelung dalam kesedlihan itu, tubuhnya yang sempat gemuk itu kembali mengurus.
Orang tuanya tak kalah sedih, bukan saja kehilangan calon menantu yang sesungguhnya telah
mereka cintai pula, juga oleh ketidakstabilan Yat atas deraan penderitaan itu.
Hari-hari Yat adalah : murung yang murung. Semangat kerjanya hilang, demilkian juga semangat
hidup. Ini menyebabkan ia dikeluarkan dari pekerjaan, sesuatu yang sampai sekarang tak pernah
disesalinya karena ia tak pernah merasa kehilangan. Jilka ada hal besar yang hilang, kehilangan hal
kecil menjadi tidak terasa. Itu yang ia rasakan saat dipecat dan membuatnya luntang-lantung,
menjadi preman kampung yang kerjanya nongkrong dari waktu ke waktu di perempatan jalan. Kali
ini, cukup lama ia menemukan kembali dirinya yang hilang. Cukup sulit untuknya kembali bangkit
setelah tersungkur yang kedua kali.
Melewati usia tiga puluh tahun, ia kembali bekerja. Kali ini, ia menemukan tempat pelarian yang
tepat dalam pekerjaan dan menjelma sebagai orang yang gila kerja. Segala pekerjaan dilakoninya
untuk melupakan kepahitan hidup.
Lantas, entah dari mana asalnya, kembali seorang gadis menyentuh kesunyian hatinya.
Kendati mulai ragu dengan perasaannya sendiri, pada akhirnya ia merasa jatuh cinta. Gadis itu telah
mampu membuat serta kembali hadir di parasnya yang telah baya. Rasa cinta yang tutus berikut
perhatian yang tiada habis membuat Yat kembali yakin untuk menikah. Sungguh, betapa orang
tuanya bahagia mendapati anaknya telah memiliki keberanian kembali untuk mencintai seseorang,
bahkan begitu perwira berniat untuk menikah.
Tak menunggu lama, lamaran pun digelar. Hari pemikahan ditentukan. Tak perlu menunggu apa pun
sebab semua telah ada. Sebagai seorang pekerja keras yang selalu lupa waktu jika sudah tenggelam
dalam pekerjaan, Yat memiliki segala ikon keduniawian. Bukankah itu kompensasi yang tepat untuk
kegilaannya pada kerja? Ia tak perlu ribut soal biaya pernikahan sebab uangnya lebih dari cukup
untuk menggelar perhelatan akbar paling bergengsi sekalipun.
Wayang kulit telah dipesan. Janur pun telah didekor dengan meriah berikut segala perhiasan khas
orang menikah. Pesta pernikahannya akan diawali dengan upacara akad nikah di siang harinya, di
kantor KUA terdekat.
Orang-orang sudah berkumpul di kantor tersebut. Yat dan keluarganya, berikut kerabat satu
rombongan yang ingin menyaksikan peristiwa bersejarah seorang Yat. Bahagia di wajah masing-
masing.
Lantas..waktu beranjak begitu melelahkan dalam penantian. Pengantin putri tak kunjung datang. Ke
mana? Semua kepala saling berganti melongok ke ujung jalan. Jam di tangan pun telah berapa
puluh kali ditengok, berharap jarumnya berhenti agar waktu jangan segera lewat. Jam berganti dan
resah semakin berakar dalam sunyi.
Lantas, berita itu datang. Petir yang kesekian menyambar hidup Yat berkeping-keping.
"Di rumah sakit!"
Kabar yang pertama.
"Mobil yang membawa rombongan pengantin wanita mengalami kecelakaan di perempatan kota."
Kabar yang kedua.
Yat sudah mulai menjerit, bergema bergaung-gaung di ruang hatinya. Dalam pakaian pengantin, ia
memburu ke rumah sakit. Benar adanya, si calon mempelai wanita terbaring di sana, bersama nyaris
seluruh keluarganya. Semua terluka dalam kecelakaan maut itu. Sementara, mempelai wanita yang
duduk di bangku depan mobil, tepat di samping sopir, mengalami luka paling parah. Sopirnya
bahkan meninggal.
Kini, si cantik dengan make up terlihat pucat dan dandanan pengantin itu dikalungi begitu banyak
selang, infus, dan oksigen bantuan pernapasan. Napasnya satu-satu.
Tak cukup bilangan waktu itu. Maut menjemput segera. Yat tergugu saat garis lurus mewarnai
monitor pendeteksi jantung sang pengantin. Serasa napasnya turut terhenti dan dunianya habis.
Gelap. la meraung di ruang gelap matanya, pingsan.
"Belum menikah, Mas?" tanya saya beberapa tahun lalu dan selalu saya hanya mendapat jawaban
serupa, senyum kecut. Lantas, biasanya, disertai sengal dan napas yang berat dihela, ia akan
mengajak beranjak pada perbincangan yang lain.
Tapi kali ini saya telah bertekad untuk tidak mau beranjak begitu lekas. Saya masih mencari
jawabannya. Akhirnva.
"Aku takut jatuh cinta, Wie! Setiap wanita yang kucintai selalu meninggal dengan cara yang tragis,
°` alasannya, dengan pandangan yang segera dibuang ke jurusan lain, selanjutnya memaku ke tanah.
Luka yang begitu bernanah. "Itu hanya kebetulan saja, hibur saga, memahami dalamnya duka itu.
"Kebetulan? Tidak cukupkah tiga nyawa menjadi bukti?" "Itu bukan bukti. Nyatanya, tidak ada
manusia yang tidak memiliki jodoh. Itu janji Allah."
"Karna engkau tidak mengalami seperti yang kualami."*
Saya tepuk bahunya. "Karena saga bukan orang pilihan, Mas. Engkaulah yang dipilih Allah untuk
sanggup menghadapi cobaan semacam ini.°"
"Kaucoba membesarkan hatiku?"
"Saya tak perlu membesarkannya sebab sesungguhnya hatimu jauh lebih besar dari yang kauduga.
Engkau orang istimewa, Mss, karena itu Allah mengujimu dengan yang begini berat."
"Tapi aku tak akan menikah, Wie, seberapa pun kuatnva engkau merayuku."
"Ini tidak merayu, Mas, karna menikah adalah separo dari agamamu."
Beberapa tahun setelah peristiwa tragis itu.
Saya tidak tahu dari jalan mana hidayah itu datang. Semua memang rahasia. Preman kampung yang
sempat luntang lantung itu kini menjadi preman masjid kawakan. Aura religius begitu tertangkap di
parasnya yang telah menua.
"Aku melarikan diri ke sini, Wie! Tuhan begitu menenteramkan. Maka, kendati takdirku hidup
sendiri, aku merasa tidak kesepian sebab ada Dia yang selalu menemani. Saat sepi, adakah yang
lebih indah dari rasa ditemani? Saat berduka, adakah yang lebih nyaman dari rasa berkawan?
Sesungguhnya, Dia adalah kawan yang tak pernah pergi, sahabat yang tak pernah berkhianat."
Saya tersenyum, kecut, bahwa dirinya belum juga memiliki keberanian untuk menikah.
"Orang yang kucintai selalu meninggal sebelum menikah."
"Mereka memang bukan jodohmu, Mas, sebab Allahh tengah menyiapkan yang lebih baik, yang
lebih pantas untuk orang setegar dirimu."
"Apa itu ada, Wie!"
"Tidak ada manusia yang diciptakan tidak memiliki jodoh, Mas."
"Tapi, bagaimana aku akan menikah, sedangkan aku selalu takut untuk jatuh cinta."
"Mengapa harus takut?"
"Itu pertanyaan konyol. Wie! Engkau tidak mengalami seperti yang aku alami."
"Kalau begitu adanya, mengapa tidak menikah saja dengan orang yang tidak kaucintai?"
"Kau ngaco!"
"Menikah tidak harus diawali dengan cinta, bukan?"
Rautnya telah begitu tua saat duduk di pelaminan. Namun, binar itu, siapa tidak percaya bahwa itu
binar yang hanya dimiliki oleh anak muda? Seorang gadis muda duduk menyandingnya di sana.
Usia dua mempelai itu terpaut begitu jauh.
Yat, tahun ini menginjak usia tiga puluh delapan tahun, sedangkan ia gadis belum lama beranjak
dari angka dua puluh. Keduanya dipertemukan oleh seorang ustaz, melewati masa taaruf singkat,
tanpa.sebelumnya saling mengenal. Jodoh memang ajaib. Akhwat yang menyanding Yat ini adalah
seorang aktivis dakwah kampus. Belum lagi selesai kuliahnya, tetapi ia mantap mendampingi hidup
seorang Yat.
Apa yang akan saya sebutkan dari kebaikan wanita ini? Kaya, rupawan, salihah, mahirah. Memang
sungguh, akhwat semacam inilah yang tepat untuk orang setegar dan sehanif Yat. Bukankah Yat tak
perlu khawatir wanita yang dicintainya akan 'meninggai dunia' sebelum menikah Ya. sebab Yat
baru belaiar 'mencintai' wanita itu setelah ia menikah.