Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. Jika Dia menghendaki, niscaya Dia memusnahkan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kamu). Dan yang demikian itu sekali-kali tidak sulit bagi Allah.
26.6.10
Ikhlas dan Profesionalisme
oleh Herianto
Dari suatu majlis ta’lim, seorang peserta bertanya ke pembicara (ustadz) nya tentang dilema antara keikhlasan dan profesionalisme.
Penjabaran masalahnya seperti ini :
ikhlas adalah berbuat tanpa mengharapkan apa pun selain ridha-NYA, sementara profesionalisme (terutama yang berkaitan dengan maisyah/mata pencaharian) [tentu saja] mengharapkan imbalan (uang, jabatan). Lalu apakah berarti orang-orang yang bekerja secara profesional itu tidak ikhlas atau setidaknya terganggu keikhlasannya ?
Berkaitan dengan ini ada juga dicelotehin pada blog ini : di sini dan di sini.
—
Kalau memang hendak mempermasalahkan hal ini lebih lanjut, kita bisa saja memulainya lagi dengan bertanya seperti ini :
1. Bolehkah karena merasa kurang ikhlas lalu kita menghentikan (menunda) kewajiban amalan [shaleh] yang lain ?
2. Bagaimana mungkin prinsip ikhlas justru menyempitkan ruang gerak [kemanfaatan] kita di lingkup kehidupan ini ?
—
Definisi
Ikhlas adalah mengharapkan ridha Allah semata. Kata kuncinya adalah : “ridha Allah semata“.
Atas definisi ini tentu bisa dilanjutkan ke pertanyaan berikut :
* Mungkinkah kita memperoleh ridha Allah jika mendapatkan uang dari pekerjaan profesional tersebut ? Atau Allah lebih ridha jika kita membiarkan saja (bahkan menolak) hak tersebut atau justru sebaliknya bisa juga menjadi embrio mukmin yang lemah (fenomena kekufuran) dan/atau pengabaian fitrah.
* Mungkinkah Allah ridha jika kita mendapatkan kekuasaan ? Apakah kita punya hak berkuasa atau kita biarkan agar para ahli maksiat saja yg boleh berkuasa.
* Ridha kah Allah jika kita kaya raya ? Apakah kekayaan tersebut hak orang lain saja atau kita seharusnya meraihnya dan menggunakan sebagai sarana berjuang dijalan-NYA.
Pertanyaan intinya adalah :
Apakah orang-orang yang hendak meraih ikhlas tidak boleh menerima imbalan semacam : pujian (reward penyemangat), kekuasaan, kekayaan dan seterusnya tersebut walaupun target hakiki (ujung sekuensial) dia/mereka sesungguhnya tetap dalam koridor (lingkup) mengharapkan ridha Allah ?
Kita bersikeras di istilah “ikhlas” yang kosong (tanpa mengharapkan apa-apa) itu saja atau di makna “mengharapkan ridha Allah” nya. Di kulit atau isinya ?
—
Ikhlas tapi Tidak Murni
Ada yang mengatakan,”Itu sih tetap ikhlas tetapi tidak murni“.
Tidak murni bagemana ?
Bukankah para ulama sepakat bahwa ikhlas itu adalah kemurnian tujuan kita pada-NYA. Dalam kaitan ini tentu tidak pantas ada dikotomi istilah : ikhlas yang murni dan ikhlas yang tidak murni. Yang ada harus : “ikhlas yang murni” saja.
Lalu ikhlas yang murni itu bagaimana ?
Apakah yang tidak mengharapkan imbalan uang, pujian (baca : reward /penyemangat), jabatan dan seterusnya tadi ?
Kalau memang makna seperti ini yang dikembangkan, lalu apa saja pekerjaan (profesional) yang boleh kita lakukan di kehidupan ini ?
Jadinya ya gak ada dong.
Berarti kita gak boleh kerja.
Pantes aja sebagian ummat ini pada ogah-ogahan untuk bekerja (meraih kesuksesan dunia) :
* Mereka takut berlaku tidak ikhlas atas pengertian seperti tadi, pada akhirnya cenderung terdorong untuk tidak melakukan apa-apa.
* Mereka dicecoki dengan pengertian-pengertian sempit yang membatasi keterlibatan aktifnya di kehidupan.
* Mereka ditakut-takuti untuk terlibat sukses di dunia padahal telah tertata energi ruhiyah (ikhlas –> ihsan) dari ibadah ritualnya yang justru dibutuhkan di aktivitas/perjuangan kehidupan.
—
Ikhlas di ibadah ritual dan di pekerjaan dunia itu berbeda ?
Ada juga pendapat bahwa : Ikhlas di ibadah ritual dan di pekerjaan dunia (profesional) itu berbeda.
Lho kok beda. Ikhlas ya ikhlas. Dimana pun maknanya ya tetap ikhlas.
Kalau sekiranya makna keikhlasan [ibadah] tidak dapat dikaitkan dengan keikhlasan pekerjaan [profesional], berarti kita memisahkan nilai-nilai agama dengan nilai-nilai kehidupan. Bukankah sudah lama faham sekuler dikritik melalui pemaknaan seperti di atas. :lol:
—
Profesional = Bersinerginya Keikhlasan
Pernah dengar istilah : Ihsan ?
Suatu ketika Rasulullah [pura-pura] ditanya [langsung] oleh malaikat/Jibril [yang menyamar] dengan 3 (tiga) pertanyaan berikut : Apa itu Islam, Apa itu Iman, Apa itu Ihsan ?
Ihsan.
Ihsan inilah profesionalisme, yang salah satu syaratnya : ikhlas.
Profesionalisme seorang muslim adalah bersinerginya keikhlasan dalam setiap aktivitasnya.
Tidak ada ikhlas tanpa aktivitas.
Dan ikhlas bukan tidak mengharapkan apa-apa,
tetapi,
mengharapkan ridha-NYA.
—
Jangan berdiam diri dengan alasan menjaga keikhlasan.
Lakukan.
Beraktivitas.
Lakukan.
Tidak ada ikhlas tanpa aktivitas.
Karena ia diterapkan di nyata.
Harus nyata.
sumber: http://herianto.wordpress.com/2008/08/05/ikhlas-3-dan-profesionalisme/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar