26.6.10

Secangkir Kopi


Budi sedang sarapan bersama keluarga.
Anak perempuannya menumpahkan secangkir kopi ke kemeja kerja Budi.
Budi tidak dapat mengendalikan apa yang telah terjadi itu.
Apa yang terjadi kemudian akan ditentukan oleh bagaimana Budi bereaksi.

Budi mengumpat.
Budi dengan kasar memarahi anaknya yang menumpahkan kopi.
Dia menangis.

Setelah itu, Budi melihat ke istrinya, dan mengkritiknya karena telah menaruh cangkir kopi terlalu dekat dengan tepi meja.
Pertempuran kata-kata singkat menyusul.
Budi naik pitam dan kemudian pergi mengganti kemeja.

Setelah itu Budi kembali dan melihat anak perempuannya sedang menghabiskan sarapan sambil menangis dan siap berangkat ke sekolah.
Dia ketinggalan bis sekolah.
Sedangkan Budi harus segera berangkat kerja.

Budi segera menuju mobil dan mengantar anaknya ke sekolah.
Karena Budi terlambat, Budi mengendarai mobil melewati batas kecepatan maksimum.

Setelah tertunda 15 menit karena harus membayar tilang, Budi tiba di sekolah.
Anaknya berlari masuk.
Budi melanjutkan perjalanan, dan tiba di kantor terlambat 20 menit, dan Budi baru sadar, bahwa tas kerjanya tertinggal.

Hari ini begitu buruk bagi Budi.
Budi ingin segera pulang.
Ketika Budi pulang, Budi menemukan ada hambatan dalam hubungan dengan istri dan anaknya.

Kenapa ?
Karena reaksi Budi pagi tadi.

Kenapa hari ini begitu buruk bagi Budi ?
a) Karena secangkir kopi yang tumpah ?
b) Kecerobohan anaknya ?
c) Polisi yang menilang ?
d) Karena dirinya sendiri ?

Jawaban-nya adalah d).

Budi tidak dapat mengendalikan tumpahnya kopi itu.
Bagaimana reaksi Budi 5 detik kemudian itu, yang menyebabkan harinya menjadi buruk.

Ini yang mungkin terjadi jika Budi bereaksi dengan cara yang berbeda.
Kopi tumpah di kemeja Budi.
Anaknya sudah siap menangis.

Budi dengan lembut berkata,
" Tidak apa-apa sayang, lain kali kamu lebih hati-hati ya."

Budi pergi mengganti kemejanya dan dan tidak lupa mengambil tas kerjanya.
Budi kembali dan melihat anaknya sedang naik ke dalam bus sekolah.
Istrinya menciumnya sebelum Budi berangkat kerja.

Budi tiba di kantor 5 menit lebih awal, dan dengan riang menyalami para karyawan.
Atasannya berkomentar tentang bagaimana baiknya hari ini buat Budi.

Lihat perbedaannya.
Dua skenario yang berbeda.
Keduanya dimulai dari hal yang sama, tapi berakhir dengan berbeda.

Kenapa ?
Karena REAKSI kita.
Sungguh kita tidak dapat mengontrol 10% hal-hal yang terjadi.
Tapi yang 90% lagi ditentukan oleh reaksi kita.

Kekhawatiran menghabiskan banyak waktu, amarah memutuskan persahabatan dan hidup kelihatan menjadi menakutkan dan tidak dinikmati sepenuhnya.
Sahabat hilang.
Hidup hampa, membosankan dan sering kelihatan kejam.

Apakah ini menggambarkan keadaan kita ?
Jika ya, jangan takut.
Kita dapat berubah !
Pahami dan lakukan rahasia 90/10.
Itu akan mengubah hidup kita !

Apa Rahasia 90/10 ?
10% kehidupan dibuat oleh hal-hal yang terjadi terhadap kita.
90% kehidupan ditentukan oleh bagaimana kita bereaksi / memberi respon.

Apa artinya ?

Kita sungguh-sungguh tidak dapat mengontrol 10% kejadian-kejadian yang menimpa kita.
Kita tidak dapat mencegah mobil kita diserempet bajaj.
Pesawat mungkin terlambat, dan mengacaukan seluruh jadwal kita.
Seorang supir metromoni mungkin menyalip kita di tengah kemacetan lalu-lintas.

Kita tidak punya kontrol atas hal yang 10% ini.
Yang 90% lagi berbeda.
Kita menentukan yang 90% !

Bagaimana dengan reaksi kita ?

Kita tidak dapat mengontrol lampu merah, tapi kita dapat mengontrol reaksi kita.
Jangan biarkan orang lain mempermainkan kita, kita dapat mengendalikan reaksi kita !

Kisah Sepotong Kue


Seorang wanita sedang menunggu di bandara suatu malam. Masih ada beberapa jam sebelum jadwal terbangnya tiba. Untuk membuang waktu, ia membeli buku dan sekantong kue di toko bandara, lalu menemukan tempat untuk duduk. Sambil duduk wanita itu membaca buku yang baru saja dibelinya.

Dalam keasyikannya, ia melihat lelaki di sebelahnya dengan begitu berani mengambil satu atau dua dari kue yang berada di antara mereka. Wanita tersebut mencoba mengabaikan agar tidak terjadi keributan. Ia membaca, mengunyah kue dan melihat jam. Sementara si Pencuri Kue yang pemberani menghabiskan persediaannya.

Ia semakin kesal sementara menit-menit berlalu. Wanita itupun sempat berpikir: “Kalau aku bukan orang baik sudah kutonjok dia!”.

Setiap ia mengambil satu kue, si lelaki juga mengambil satu. Ketika hanya satu kue tersisa, ia bertanya-tanya apa yang akan dilakukan lelaki itu. Dengan senyum tawa di wajahnya dan tawa gugup, si lelaki mengambil kue terakhir dan membaginya dua.

Si lelaki menawarkan separo miliknya sementara ia makan yang separonya lagi. Si wanita pun merebut kue itu dan berpikir : “Ya ampun orang ini berani sekali, dan ia juga kasar malah ia tidak kelihatan berterima kasih”. Belum pernah rasanya ia begitu kesal. Ia menghela napas lega saat penerbangannya diumumkan.

Ia mengumpulkan barang miliknya dan menuju pintu gerbang. Menolak untuk menoleh pada si “Pencuri tak tahu terima kasih”. Ia naik pesawat dan duduk di kursinya, lalu mencari bukunya, yang hampir selesai dibacanya. Saat ia merogoh tasnya, ia menahan nafas dengan kaget.

Disitu ada kantong kuenya, di depan matanya!!! Koq milikku ada di sini erangnya dengan patah hati.

Jadi kue tadi adalah milik lelaki itu dan ia mencoba berbagi. Terlambat untuk minta maaf, ia tersandar sedih. Bahwa sesungguhnya dialah yang kasar, tak tahu terima kasih. Dan dialah pencuri kue itu!

Dalam hidup ini kisah pencuri kue seperti tadi sering terjadi.
Kita sering berprasangka dan melihat orang lain dengan kacamata kita sendiri serta tak jarang kita berprasangka buruk terhadapnya.

Orang lainlah yang selalu salah
Orang lainlah yang patut disingkirkan
Orang lainlah yang tak tahu diri
Orang lainlah yang berdosa
Orang lainlah yang selalu bikin masalah
Orang lainlah yang pantas diberi pelajaran

Padahal…

Kita sendiri yang mencuri kue tadi
Kita sendiri yang tidak tahu terima kasih.

Kita sering mempengaruhi, mengomentari, mencemooh pendapat, penilaian atau gagasan orang lain. Sementara sebetulnya kita tidak tahu betul permasalahannya

Ikhlas dan Profesionalisme


oleh Herianto

Dari suatu majlis ta’lim, seorang peserta bertanya ke pembicara (ustadz) nya tentang dilema antara keikhlasan dan profesionalisme.

Penjabaran masalahnya seperti ini :

ikhlas adalah berbuat tanpa mengharapkan apa pun selain ridha-NYA, sementara profesionalisme (terutama yang berkaitan dengan maisyah/mata pencaharian) [tentu saja] mengharapkan imbalan (uang, jabatan). Lalu apakah berarti orang-orang yang bekerja secara profesional itu tidak ikhlas atau setidaknya terganggu keikhlasannya ?

Berkaitan dengan ini ada juga dicelotehin pada blog ini : di sini dan di sini.



Kalau memang hendak mempermasalahkan hal ini lebih lanjut, kita bisa saja memulainya lagi dengan bertanya seperti ini :

1. Bolehkah karena merasa kurang ikhlas lalu kita menghentikan (menunda) kewajiban amalan [shaleh] yang lain ?
2. Bagaimana mungkin prinsip ikhlas justru menyempitkan ruang gerak [kemanfaatan] kita di lingkup kehidupan ini ?



Definisi

Ikhlas adalah mengharapkan ridha Allah semata. Kata kuncinya adalah : “ridha Allah semata“.

Atas definisi ini tentu bisa dilanjutkan ke pertanyaan berikut :

* Mungkinkah kita memperoleh ridha Allah jika mendapatkan uang dari pekerjaan profesional tersebut ? Atau Allah lebih ridha jika kita membiarkan saja (bahkan menolak) hak tersebut atau justru sebaliknya bisa juga menjadi embrio mukmin yang lemah (fenomena kekufuran) dan/atau pengabaian fitrah.
* Mungkinkah Allah ridha jika kita mendapatkan kekuasaan ? Apakah kita punya hak berkuasa atau kita biarkan agar para ahli maksiat saja yg boleh berkuasa.
* Ridha kah Allah jika kita kaya raya ? Apakah kekayaan tersebut hak orang lain saja atau kita seharusnya meraihnya dan menggunakan sebagai sarana berjuang dijalan-NYA.

Pertanyaan intinya adalah :

Apakah orang-orang yang hendak meraih ikhlas tidak boleh menerima imbalan semacam : pujian (reward penyemangat), kekuasaan, kekayaan dan seterusnya tersebut walaupun target hakiki (ujung sekuensial) dia/mereka sesungguhnya tetap dalam koridor (lingkup) mengharapkan ridha Allah ?

Kita bersikeras di istilah “ikhlas” yang kosong (tanpa mengharapkan apa-apa) itu saja atau di makna “mengharapkan ridha Allah” nya. Di kulit atau isinya ?



Ikhlas tapi Tidak Murni

Ada yang mengatakan,”Itu sih tetap ikhlas tetapi tidak murni“.

Tidak murni bagemana ?

Bukankah para ulama sepakat bahwa ikhlas itu adalah kemurnian tujuan kita pada-NYA. Dalam kaitan ini tentu tidak pantas ada dikotomi istilah : ikhlas yang murni dan ikhlas yang tidak murni. Yang ada harus : “ikhlas yang murni” saja.

Lalu ikhlas yang murni itu bagaimana ?

Apakah yang tidak mengharapkan imbalan uang, pujian (baca : reward /penyemangat), jabatan dan seterusnya tadi ?

Kalau memang makna seperti ini yang dikembangkan, lalu apa saja pekerjaan (profesional) yang boleh kita lakukan di kehidupan ini ?

Jadinya ya gak ada dong.

Berarti kita gak boleh kerja.

Pantes aja sebagian ummat ini pada ogah-ogahan untuk bekerja (meraih kesuksesan dunia) :

* Mereka takut berlaku tidak ikhlas atas pengertian seperti tadi, pada akhirnya cenderung terdorong untuk tidak melakukan apa-apa.
* Mereka dicecoki dengan pengertian-pengertian sempit yang membatasi keterlibatan aktifnya di kehidupan.
* Mereka ditakut-takuti untuk terlibat sukses di dunia padahal telah tertata energi ruhiyah (ikhlas –> ihsan) dari ibadah ritualnya yang justru dibutuhkan di aktivitas/perjuangan kehidupan.



Ikhlas di ibadah ritual dan di pekerjaan dunia itu berbeda ?

Ada juga pendapat bahwa : Ikhlas di ibadah ritual dan di pekerjaan dunia (profesional) itu berbeda.

Lho kok beda. Ikhlas ya ikhlas. Dimana pun maknanya ya tetap ikhlas.

Kalau sekiranya makna keikhlasan [ibadah] tidak dapat dikaitkan dengan keikhlasan pekerjaan [profesional], berarti kita memisahkan nilai-nilai agama dengan nilai-nilai kehidupan. Bukankah sudah lama faham sekuler dikritik melalui pemaknaan seperti di atas. :lol:



Profesional = Bersinerginya Keikhlasan

Pernah dengar istilah : Ihsan ?

Suatu ketika Rasulullah [pura-pura] ditanya [langsung] oleh malaikat/Jibril [yang menyamar] dengan 3 (tiga) pertanyaan berikut : Apa itu Islam, Apa itu Iman, Apa itu Ihsan ?

Ihsan.

Ihsan inilah profesionalisme, yang salah satu syaratnya : ikhlas.

Profesionalisme seorang muslim adalah bersinerginya keikhlasan dalam setiap aktivitasnya.

Tidak ada ikhlas tanpa aktivitas.

Dan ikhlas bukan tidak mengharapkan apa-apa,

tetapi,

mengharapkan ridha-NYA.



Jangan berdiam diri dengan alasan menjaga keikhlasan.

Lakukan.

Beraktivitas.

Lakukan.

Tidak ada ikhlas tanpa aktivitas.

Karena ia diterapkan di nyata.

Harus nyata.

sumber: http://herianto.wordpress.com/2008/08/05/ikhlas-3-dan-profesionalisme/

13.6.10

TENTANG HONOR


Bismillahirrahmaanirrahiim

Kalo misalnya agan dapet tugas dari Bos agan, dan dia bilang
"Kalo lw ngerjain tugas bareng-bareng ama pegawai yang lain di rumah gw, gw kasih honor 20 juta, tapi kalo lw ngerjain sendiri di rumah, gw cuma kasih honor 1 juta"

Kira-kira agan milih yang mana??
ngerjain tugas di rumah Bos agan atau di rumah agan sendiri??
(jawab pake hati ya )

Sekarang ada perintah yang bunyi-nya gini
"Kalo kamu sholat sendiri di rumah/kantor, pahalanya cuma 1 kali lipat, tapi kalo kamu sholat jamaah di Rumah-Ku (mesjid), pahalanya menjadi 27 kali lipat"

Kira-kira ada yang tertarik sama "honor" yang ini gak??

Bisa jadi, 50 persen lebih satu orang lebih tertarik sama tawaran
yang pertama daripada tawaran yang kedua. Betul kan?!!!
Padahal kalo secara persen, keuntungan tawaran yang pertama
hanya 2000 persen, sedangkan tawaran kedua sebesar 2700 %.

Kita bekerja banting tulang untuk hari depan yang cerah, lebih
tepatnya hari depan di dunia ini. Lalu, bagaimana dengan tabungan
masa depan nya masa depan?? (untuk di akhirat maksud saya)
Apakah agan-agan sudah "menabung"???

Kalo ada buku berjudul, kiat-kiat menjadi "Pengusaha yang Sukses"
mungkin buku itu bisa jadi Best Seller.


Kalo ada buku berjudul "Kiat-Kiat Menjadi Ahli Surga"
mungkin beberapa dari anda akan bilang, "Ah gw juga udah tau"
Yap benar, hampir semua orang tau gimana cara masuk surga.
Sholat berjamaah di masjid adalah salah satu nya..
Tapi mengapa beberapa di antara kita enggan melaksanakannya??

Hidup kita sehari 24 jam. Kita melaksanakan sholat 5 waktu mungkin
hanya 50 menit dalam sehari, dengan asumsi satu sholat 10 menit.
Itu juga kayaknya udah lama banget. Sedangkan porsi untuk bekerja
bisa jadi 8 atau 10 jam sehari, betul??

Alangkah indahnya jika yang hanya 50 menit itu kita laksanakan di
masjid. Dengan pahala yang 2700% lebih banyak dari pada sholat
sendiri di rumah / kantor. Apalagi kalo agan bisa sholat isya dan subuh
secara berjamaah di masjid, subhanallah sekali.

Ni saya coba ingatkan ya (FYI = For Your Information)
Sholat isya jamaah di masjid, pahalanya sama seperti sholat setengah malam (5 jam).
Sholat subuh jamaah di masjid, pahalanya sama seperti sholat satu malam penuh (10 jam).
sumber
Apalagi agan sempat melaksanakan sholat rawatib 2 rakaat sebelum subuh
yang dikatakan "Lebih baik dari pada dunia dan seisinya"

Dengan setidaknya Sholat Isya dan Subuh di masjid, porsi bekerja untuk
akhirat akan lebih banyak (15 jam) daripada untuk dunia (10 jam) di mata Allah.


KALO KITA MENCOBA YANG TERBAIK UNTUK HIDUP KITA DI DUNIA,
MENGAPA KITA TIDAK MENCOBA YANG TERBAIK UNTUK DI AKHIRAT??

NOTE : Trit ini bersifat ajakan, bukan sindiran atau peringatan

sumber: http://www.kaskus.us/showthread.php?&p=226615006#post226615006