22.7.11

Al Qitthani wa Qirdun

Sehabis shalat isya aku melangkah menutup pintu rumah dan kemudian tak lupa kukunci kembali seperti sediakala. Walaupun malam belum begitu kelam, namun tindakan ini musti terus dilakukan oleh setiap penghuni rumah baik yang pulang atau yang akan pergi, baik itu malam maupun siang hari. Bukan apa-apa, bukan juga karena faktor keamanan rumah dan lingkungan sebenarnya, namun lebih pada keamanan salah satu penghuni istimewa, yang memang saat ini sudah berada dalam kondisi yang mengharuskan kami mengistimewakan beliau, ya..kanak-kanak dalam usia senja. Pertama-tama untuk gagang pintu, lalu sebuah pasak besi di bawahnya dan terakhir sebuah pasak yang terbuat dari kayu di bagian atasnya.

Saat sampai di pintu menuju dapur, kulihat Ama sepertinya masih sedang menyiapkan masakan. Di dapur yang sudah tampak lebih lega dan menyenangkan. Kuhampiri beliau yang ternyata sedang menggoreng kerupuk. Teman makan yang paling tepat untuk apapun masakan Ama.

"Ma, jadi Minggu ke Padang?tanyaku seraya mengambil kerupuk yang telah keluar dari pengorengan. Dalam dua hitungan kerupuk hilang dari pandangan.Ikut ..tidak Ya?

"Insyaallah jadi Is." jawab Ama.

"O iya..tadi pas bersih-bersih..Ama menemukan banyak buku. Namun sayang sudah banyak yang rusak. Jadi sebagian besar halamannya sudah jadi bubuk, jadi maaf Ama buang saja. Di laci lemari coklat sana ...ada beberapa yang kondisinya masih cukup baik. Coba kamu lihat."

Dalam hati aku bertanya, kira-kira buku apa yang beliau temukan. Ada banyak buku ternyata di laci terbawah meja coklat di dalam ruangan yang sudah jadi gudang ini. Kucoba melihat satu-persatu.

"Masyaallah Ma, ini buku pas nyantri dulu Ma..

"Alhamdulillah.ucapku dalam hati. Seolah-olah aku menemukan harta karun yang lama dipendam bumi.

Buku-buku ini kukira sudah sejak lama hilang. Padahal dulu sudah seisi rumah kutelusuri ternyata tertinggal di laci meja ini. Setelah kuingat ruangan ini memang pernah jadi kamar tidurku. Namun setelah aku melanjutkan pendidikan ke luar kota sana, kamar ini kemudian beralih fungsi menjadi gudang. Kebanyakan dari buku tersebut adalah kitab-kitab pada saat aku berada di saat awal mengenal bahasa arab dan mendalami Islam. Ada kitab nahwu matan jurumiah, kitab sharf mudah yang diasuh Ustadz Ade Sehabuddin, ada matan jurumiah, khulasoh nurul yaqin yang diasuh oleh Ustadz Abdurrahman, terjemahan tanqihul qaul dan ta'lim muta'lim karya Syaik Zarnuji yang diasuh oleh Ustadz Rahmat, hadits arbain karya Imam Nawawi, bahkan kitab muthala'ah pun masih ada.. Semua kenangan kembali begitu cepat dalam benakku, saat pertama datang ke kota santri kota Serambi Mekah. Saat-saat penuh antrian dengan sebagian berhamburan keluar kamar lari dari serangan fajar Ustadz Thohir , Ustadz Amir dan pada masa akhir Ustadz Ma'ruf.Aku senyum-senyum sendiri. Bagaimana kabar beliau semua saat ini? Bahkan pada rotan-rotan pun ada kerinduan tersendiri..h..h..

"Ngapain kamu senyum-senyum Is, ketemu tidak yang kamu inginkan?"

"Ada alhamdulillah,enggak ini cuman rindu sama kenangan saat masih di asrama. Saat masih berada dalam masa-masa keemasan.Ndak terasa sudah 10 tahun saja"

"Rindu lagi jadi santri Ma. Kapan ya bisa mondok lagi. ?

"Ya tinggal berkunjung saja kan. Memangnya kenapa?

"Bukan begitu, segan saja Ma kan sudah lama sekali."alasanku

"Mungkin sedikit yang bisa dikenal disana, ngak enak sendirian ...canggung saja."

Soal ketakutan juga banyak kenangan dan ceritanya. Salah satu yang berkesan yaitu takut kertas tajassus buat para pelangar bahasa wajib. Setelah shalat isya para "pemenang" akan diumumkan untuk menerima ganjaran akan kecintaanya pada bahasa daerah. Pada setengah tahun pertama bahasa Indonesia masih diperbolehkan. Setelah itu hanya bahasa Inggris dan Arab yang "halal" digunakan. Walaupun begitu masih saja ada yang kesulitan mengurangi kecintaan mereka akan bahasa Ibu mereka masing-masing.

Hadiah yang paling dihindari adalah hukuman rotan. Dikhususkan bagi pelanggar teritori dan perbatasan. Maksudnya buat para peloncat pagar yang tidak tahan melihat dunia luar. Bagi mereka ada banyak pilihan mulai rotan seukuran telunjuk sampai yang berdiameter seukuran kelingking. Tak terkecuali saya sendiri ternyata salah seorang penerima anugerah yang sering tak terduga ni'matnya (perih.red). Maklum darah pancaroba awal perubahan warna suara.

"Ma..aku ke atas dulu ya."

"Ya.. jangan lupa bilang sama Ihsan mengantar makan malam emak Ya."

"Yap..sahutku..seraya menyeru si bungsu saat menaiki tangga yang berbahan kayu.

Sesampai di kamar. Kubalik satu-persatu kitab yang kutemukan tadi. kucoba membaca kitab muthala'ah jilid 3 yang dulu diasuh oleh Ustadz Abdurrhaman, darsu mengenai hafalan bacaan dan cerita berbahasa arab. Waktu pulang ke asrama sebanding dengan seberapa cepat kita menghafal cerita. Mengapa harus cepat-cepat pulang? Karena saat itu adalah saat antri mandi sore sebelum waktu maghrib tiba. Tidak mau antri maka harus lekas kembali.Kucoba mengingat satu-persatu mufrodat yang masih tersisa di dalam kepala. Sudah banyak yang hilang namun paling tidak dapat kuulang saat membaca alquran dan terjemahan.

Sampai pada sebuah cerita menarik tentang Qiththani dan Qirdun yang dulu pernah dengan cepat kuhafal.

Satu kali,--begitu dalam buku itu,-- dua ekor kucing mendapatkan setukah sebungkah makanan. Agar pembagian terasa adil, mereka sepakat untuk membagi dua daging tersebut. Lantas kucingpun ingin bertahklim mengangkat monyet yang menjadi hakim pendapatan itu.

Tuan hakim, kata kucing, kami datang minta agar daging ini dibagi dua sehingga keadilan bisa tegak. “O begitu,” kata monyet. “Iyalah, tolonglah kami,”kata sang kucing.

Sang monyetpun,mengambil timbangan yang dua daun (seperti lambang kehakiman sekarang), lalu dia ambil makanan yang diamanahkan untuk dibagi dua itu.

Begitulah, awalnya dia potong makanan diletakkannya pada daun sebelah kanan,dan agar berimbang dia potong dan diletakkan pada daun sebelah kiri. Ketika salah satu daun timbangan berat sebelah, maka dia kurangi makanan di daun yang lainnya.Caranya dia kurangi dan yang lebihnya langsung dia makan.Konon,begitulah seterusnya, hingga akhirnya makanan yang akan dibagi dua itupun hampir habis masuk ke perut sang hakim.

Saatnya dia telah kenyang dan makanan pun hampir habis, barulah sang monyet memberikan apa yang tersisa dan menyebutnya itulah yang dapat diberi rata. “Inilah pembagian yang benar-benar rata buat kalian, dan ambillah ini untuk kalian manfaatkan masing-masing,” kata monyet.

Melihat keadaan itu, dua ekor kucing saling melirik bengong dan berlalu dengan kecewa kerena keadilan telah tertanam di perut sang hakim. Allah, Allah.—Itulah hakim, ketika salah menunjuk sang hakim jadi hakim. Taulah monyet tuan, lambang kerakusan dalam hidup yang tak pernah berkecukupan. Lihatlah monyet, ketika mulutnya telah penuh, perutnya penuh terisi, coba beri lagi, pasti tangannya akan terulur, penuh tangannya, kakinya juga masih bisa menerima.*(waspadamedan.com)

Tersentakku dari membaca dan merenungi jalan cerita, bulu-bulu halus berwarna abu-abu kehitaman dari seekor makhluk menggerayangi kakiku. Sontak aku beristighfar...terkejut campur geli...si abu rupanya...kucing rumahan yang tidak tahu sampaii kini siapa tuannya. Sudah hampir setengah tahun memilih bermukim di rumah ini bersama dengan yang rekan seprjuangannya yang berwarna jingga, adapaun makhluk yang satu ini lebih penyabar dibanding si abu...lebih senang menunggu daripada mengeong mengiba-iba minta makan

Spontan lalu kuberkata.."Jangan terlalu banyak mengadu soal perut lagi padaku Cing...Kami manusia tetaplah manusia tapi tingkah kami seringkali tak ubahnya seekor monyet...bahkan bisa lebih parah lagi...Berusaha lebih keraslah dulu...Lalu serahkan perkaramu pada Hakim Yang Maha Adil...Lalu syukuri apapun yang Dia putuskan untukmu..Bersyukurlah!!!

Kubangun dari pembaringan. Coba kita lihat apa yang ada untukmu malam ini. Tak ada daging... ikan bilis pun jadi..Ayo waktunya makan ....hari makin malam...

Tidak ada komentar: