Cerpen Mardinata
terbit di koran Singgalang, 14 Des 2008
Aku tidak cemburu pada lelaki lain tentang perempuan milikku. Lelaki lain tak bisa melirik padanya tiap hari. Tidak bisa menggoda dekat maupun jauh. Tidak dapat melirik. Apalagi tidak dapat menyapa tiap hari. Karena akulah lelaki yang paling dekat dengan perempuan itu. Di saat Matahari bersinar sampai tenggelam. Terus dan terus.
Aku hanya—hanya?-- cemburu pada Matahari. Dari jarak jutaan kilometer dapat ia dapat menyentuh kulit istriku dimanapun dari pagi sampai sore. Tidak habis kekuataannya untuk terus beraksi mengelus-mengelus bumi termasuk ia lakukan pada istriku. Sang Surya itu menyapanya terus tiap hari. Mau tidak mau ia pasti datang. Tak peduli apa yang terjadi di dunia ini. Coba Anda bayangkan itu? Lelaki siapa yang tidak cemburu karena perangai Matahari—dengan awal huruf besar karena dia musuhku soal perebutan cinta.
Aku kalah dalam kesiangan atas nama perebutan cinta seorang perempuan. Perempuan yang terus-menerus membuat kewajiban para lelaki untuk melindunginya.
Tapi sanggupkah untuk melindunginya dari terpaan sinar Matahari?
Entahlah berapa cepat ia bisa mengenai pipi perempuan atau bunga. Atau dengan apa ia menyentuh makhluk perempuan tercintaku? Apakah ada tangan? Apakah hanya ia punya bibir untuk mencium istriku? Uh…?
Seberapa kilat didapat menyinari tahi lalat di atas alis perempuan itu? Lebih cepat dari tanganku?
Aku tak dapat mengelus-elus kulit istriku dengan leluasa. Ia dengan leluasa dengan cepat dapat memberi kehangatan pada orang-orang tercinta pada siang hari.
Aku gelisah pada Matahari. Ia lebih kuat dariku. Aku tidak bisa membuktikan sebagai pria kuat.
Aku iri pada Matahari. Tidak bisa menyentuh kulit istriku selama itu. Sekali lagi Matahari lebih berkuasa. Aku entah dimana siang hari. Tidak bisa mengawal istri dari sentuhan Matahari jika berjalan dalam kehidupan pasar?
Aku tak dapat menyentuh kulitnya selama itu. Karena aku manusia bebas untuk hidup. Hidup untuk kehidupan orang lain. Tanpa menjadi manusia bebas keluar rumah, anak istri akan protes. Karena tidak dapat memberikan kebutuhan fisik anak istri. Jika tak bekerja.
Untung Matahari hanya bisa menyentuh wajah dan tangannya. Tidak bisa lebih dari itu. Istriku membalut seluruh tubuhnya dengan baju longgar lengan panjang. Kepala dan rambut ikalnya diselimuti jilbab. Untuk dapat menyakinkan agar Matahari makin kecil menyentuh istriku, istriku pakai manset dan kaos kaki.
Apakah itu perintah Tuhan? Ataukah perintahku? Apakah aku egois untuk menyuruh pakai itu? Terserah Anda menerka. Yang jelas aku pemilik sah wanita itu. Tidak dapat digugat oleh lelaki lain. Siapapun itu orangnya. Sekalipun seorang Firaun
Tak mau kulit putih istriku menjadi gelap atau lebih hitam lagi. Aku pria lemah tidak bisa melawan Matahari. Dengan apa untuk melawannya? Tolong berikan pendapat jika Anda punya solusi untuk menaklukan kehebatan cinta Matahari.
Apakah aku kalah terus dengan Matahari? Hanya malam hari dapat mengalahkannya. Ia tak muncul. Entah kemana ia pergi? Kemudian datang lagi. Pergi dan datang lagi.
Hanya di dalam rumah Matahari tidak bisa bersaing. Ia tidak dapat menembus tembok rumah yang sudah lama dibangun. Cahaya Matahari tidak mungkin menembus rumahku secara penuh. Kecuali melalui jendela dan lubang-lubang kecil atap bocor.
He..he…he… dia lemah pada malam hari. Untung Tuhan benar-benar memberi kesempatan aku untuk menang bertarung dengan Matahari. Berarti tidak ada yang bersaing merayu perempuan tersayangku. Namun, kehadirannya tetap ada terasa. Tapi ia bersahabat kali ini dengan temannya dalam bentuk lain. Mau bukti? Ia hadir dalam jelma rembulan. Sinarnya tidak terasa pada kulitku. Tidak hangat. Tapi indah. Dan ia hadir dalam keadaan yang berubah-rubah. Sabit, sabit, separuh, separuh, dan purnama penuh.
Aku tidak suka perjalanan siang hari. Aku senang perjalanan bulan. Ia lebih dinamis dari Matahari. Setiap perjalanan kehidupannya tidak semu dan statis selama bergulirnya waktu. Ditambah lagi ia tidak mau menyentuh alis dan wajah oval istriku dalam kehangatan tidak terlalu. Malah ia memerangi kemanjaan kami di beranda rumah bercat biru muda.
***
Istriku menggugat. Dan aku akan bercerai. Dengan memberi alasan gugatan ke hakim pengadilan. Karena kecemburuan atau kelemahan dari kemampuan seorang laki-laki. Cemburu pada Matahari. Atau melihat aku lelaki yang tidak dapat melindunginya dari godaan Matahari? Dan atau mengganggap aku terlalu egois dan pengatur hak untuk dapat bebas seorang perempuan?
I
Ia tidak mau menggunakan pakaian yang aku atur. Ingin melepaskan baju-baju yang merasa gerah membalutnya di luar rumah. Terutama ia menolak jika memakai cadar. Tapi entahlah, yang jelas itu dilakukan untuk menjaga kulit putih yang aku suka. Tidak mau ada yang bersaing denganku. Tidak mau dilihat Matahari atau lelaki lain.
Ia tidak mau rambut ikal bersinarnya rusak. Rusak? Yah, selendang lebar pembungkus kepala yang terus dikenakan bila ke tempat ramai dapat mengusutkan keindahan rambutnya. Tetap ingin mempertahankan rambut itu seperti remaja dulu.
Kusut? Apakah rambut kena sinar Matahari tidak rusak?
Mungkin dia ada selingkuhan? Ia ingin mengaurakan wajah, bahu, betis seksi yang selama ini aku senangi. Dulu akulah yang bebas menikmatinya. Tapi sekarang, sebentar lagi keasyikan itu akan hilang bersaman dengan kelengkapan menangnya Matahari atas aku.
Kalau ia terus mengotot untuk minta cerai atas alasan perangaiku terlalu cemburu. Terpaksalah aku serahkan untuknya menggugat ke Pengadilan Agama. Karena tidak mau disebut lelaki kejam.
Dengan ketukan palu hakim terdengar melalui perantara udara yang menusuk setiap orang punya telinga di ruang itu. Resmilah aku tak punya istri. Lepaslah dari ini aku tidak cemburu lagi pada Matahari. Tak lagi pusing lagi bagaimana melindungi istri dari cahaya Matahari. Sekarang aku bukan lelaki pencemburu.
***
Dua puluh empat purnama penuh—sekarang jadi teman baikku dalam kesendirian—berputar bersamaan yang apa yang ada pada hukum alam, aku tetap belum punya perempuan resmi. Perempuan yang dapat aku melihat rambutannya dengan sah. Tidak ada yang dapat melarang menyentuhnya.
Mungkin…? Mungkin, atau mungkin ini terjadi karena sulit untuk menemukan perempuan legal pertamaku. Jujur aja ia memang cantik. Dengan mata birunya. Tapi ia sekarang sudah selingkuh dengan Matahari.
Hanya cadar-cadar dan baju-baju yang tertinggal di kamar ini. Ia tidak mau membawanya. Dengan benda-benda itu dapat mengganggu perselingkungannya dengan Matahari. Atau jangan-jangan sudah ada pria kuat yang tidak cemburu pada Matahari?
Hari ini Matahari bukan musuhku lagi. Terus menikmati pertemanan dengan Matahari. Aku duduk di berada berkeramik coklat. Dalam keasyikan berkawan dengan sinar Matahari, perempuan itu datang. Lebih hitam dari yang dulu. Nyaris tali lalatnya tidak tampak lagi di atas alisnya. Kurus.
“Aku datang untuk membawa baju-baju atau cadar-cadar yang sudah lama di tinggalkan.”
“Ambil saja. Sekarang aku jelaskan padamu. Aku sedang menikmati hasil kerja Matahari.
Yaah, menikmati bunga mawar putih itu. Ini hasil perkawanan aku dengan Matahari. Tanpa dia kesejukan pandangan taman ini tidak terlihat.”
“Sekarang Matahari musuhmu. Ha ha ha… Kulitmu hitam karenanya. Kamu bebas sekarang. Bebas mengambil barang-barangmu. Aku bukan siapa-siapamu lagi.”
Sudut Nusantara, 2008
2 komentar:
menarik sobat...
keep writing...
Posting Komentar