23.5.10

Surat Perjanjian

Sore ini begitu cerah, namun hati Odin ternyata tak secerah sore ini...awan mendung menggelayut di atas kepalanya..jantungnya berdetak keras laksana gemuruh mengawali datangnya hujan. Bukan apa-apa, antara sadar atau tidak, getaran hatinya merasakan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada dirinya. Tapi jika aku boleh berkata pada saat itu, kerisauan ini terjadi bukan karena siapa-siapa tetapi memang kenyataannya adalah karena kesalahan yang sudah berulang kali dilakukan Odin sendiri. Sudah berulang kali kata-kata petuah dan berbagai kalimat sakti keluar dari mulut Ibunya. Dan tak lama kemudian setelah sampai di rumah pada sore nan cerah itu, sang Ibu kemudian berkata :

"Din, kamu dari mana saja? mau kamu sebenarnya apa..Tahukah kamu? Kamu ini masih anak-anak..jadi segala peri kehidupanmu adalah tanggung jawab Ama dan Apa."
"Kenapa kamu tidak pergi mengaji tadi siang? Kenapa kenakalan seperti ini seringkali kamu ulang..Seakan kamu anak tidak punya orang tua..Coba katakan pada Ama, apa yang sebenarnya kamu inginkan..Ayo katakan!!"

Sang Ibu hampir tak kuasa menahan amarahnya. Odin hanya diam. Jurus yang sama yang ia lakukan dari hari kehari. Dalam pikiran ia berkata, "Nanti Ama pasti lelah dan diam sendiri". Namun yang terjadi selanjutnya ternyata diluar nalarnya. sang Ibu kemudian menyerahkan secarik kertas berisikan kata-kata yang isinya seakan-akan membalikkan dunia tempat ia berada.

"Salin surat perjanjian ini dengan tulisanmu sendiri kemudian kamu tandatangani. Jika kamu masih ingin jadi anak Ama dan Apa, Ini untuk kebaikanmu lalu coba kamu renungkan isi surat ini .Agar kamu lebih punya tanggung jawab pada orang tua dan dirimu sendiri."
Kepala Odin terasa berputar. Hal ini terasa begitu berat baginya yang baru duduk di tingkat 5 sekolah dasar. Matanya mulai merah dan perlahan basah. Apa arti semua tulisan ini. Ia benar-benar tak mengerti. Mengapa Ama begitu tega padanya. Mengapa hukuman yang akan ia hadapi begitu berat sampai-sampai Ama tega menuliskan bahwa mereka akan lepas tanggung jawab atas dirinya jika kenakalannya kembali terulang.

"Odin kan masih kecil", dalam hati ia coba kembali membela diri dan perlahan mulai menyesali kesalahannya. Kertas yang seharusnya ia tulis perlahan basah oleh tetesan airmata. Campuran antara air mata amarah dan penyesalan. Mengapa Ama begitu tega padanya.Pikirannya dipenuhi rasa ketidakadilan atas perlakuan orangtuanya. Aku hanya memerhatikan dari kejauhan. Aku merasa tindakan sang Ibu sudah cukup tepat. Terlepas dari perasaan tega atau tidak dan tindakan sang Ibu menurut akal sehat betul atau salah. Namun kenyataan berkata bahwa pada usia itu, sang anak sudah perlu diajari tanggung jawab atas dirinya lalu akan pentingnya amanah pada kepercayaan yang diberikan.

Mentari perlahan tenggelam di ufuk Barat. Sore nan cerah perlahan-lahan memerah. Panggilan azan mulai datang menyeru jiwa-jiwa yang sibuk mencari dunia di waktu siang. Aku lalu beranjak dari peraduan melangkah menuju masjid yang berada tepat disamping rumah. Dalam hati lalu kuberpikir, ternyata kita juga pernah punya "janji" dengan Allah. Percakapan yang tersimpan hingga kini dalam Al Quran :

"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ""Bukankah Aku ini Tuhanmu?"" Mereka menjawab: ""Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi"". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ""Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)"*

Disaat melangkah, aku menunduk dan malu sendiri. Ya.. aku adalah salah satu anak adam itu. Yang pernah bersaksi pada sang khalik bahwa Dia-lah Tuhanku. Namun ternyata hingga saat ini diri ini masih juga "nakal". Janji-janji yang berulangkali tak ditepati. Ya..masih "nakal". Kembali kuberfikir.. Jika masih tetap seperti ini, sangupkah aku mencari rumah lain selain Bumi-Nya dan Tuhan selain Dia?


"Rabbana zhalamna anfusana fa in lam taghfirlana wa tarhamna lanakunanna minal Khasirin"
Dalam diam kupercepat langkah menghadiri shalat magrib.

*terj. Surat Al A'raf : 172

Tidak ada komentar: