7.8.10

Andai Engkau Tahu Siapa Aku Sebenarnya


Betapa seringnya kita merasa bangga ketika melihat begitu banyaknya orang yang membutuhkan kita. Saat kita menyaksikan orang-orang berkumpul di sekeliling kita, betapa bangganya jiwa ini. Padahal –kita sendiri menyadari bahwa- orang-orang itu sesungguhnya tidak mengetahui siapa dan bagaimana diri kita yang sesungguhnya. Dan yang membuat segalanya semakin parah –kita pun seperti selalu berusaha menampilkan berbagai bentuk dan rupa kepalsuan. Menampilkan kekhsyu’an padahal sesungguhnya tidak khusyu’. Berlagak seperti ahli dzikir, padahal hati selalu lalai mengingat Allah. Dan orang itu bukan siapa-siapa. Dialah kita.

Kaum shaleh terdahulu yang hampir tidak bisa diragukan lagi keshalehannya seringkali mengungkapkan kekhawatirannya akan dirinya sendiri. Bila kita meluangkan waktu untuk membaca jejak-jejak keshalehan mereka, rasanya kita sulit untuk mengerti mengapa mereka masih saja sangat khawatir amal mereka tidak diterima oleh Allah. Mengapa mereka masih saja selalu berperilaku seolah-olah merekalah para penghuni neraka. Jilatan dan kobaran api neraka seperti begitu dekat…

Padahal sesungguhnya bila kita mengerti, kita sama sekali tidak perlu heran. Itulah tanda utama kesalehan seorang hamba. Bila engkau selalu merasa khawatir amalmu tidak diterima, maka bersyukurlah. Sebab terlalu banyak manusia yang memandang Allah sebagai Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, namun lupa bahwa Ia juga Maha Perkasa dan Mahadahsyat siksaan-Nya. Saat ia tenggelam dalam kemaksiatan dan kedurhakaan, ia membayangkan bahwa Allah itu Maha Pengampun, dan lupa bahwa Ia tidak menyukai dan akan menghukum para pendurhaka. Dan –lagi-lagi- orang itu bukan siapa-siapa. Dia adalah kita sendiri.

Sepanjang sejarah memang selalu begitu yang terjadi. Semakin shaleh dan dekat seorang hamba dengan Allah, semakin takut dan khawatirlah ia bila cintanya ditolak oleh sang kekasih. Dan semakin durjana seorang makhluk, semakin optimislah ia bahwa kedurjanaannya itu pasti diampuni oleh Allah. Padahal ia tidak mengantongi secuil jaminan pun akan hal itu. Sangat jauh berbeda dengan shahabat-shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang jelas-jelas telah ‘mengantongi’ jaminan masuk surga. Anda tentu tahu siapa itu Abu Bakar Ash-Shiddiq, ‘Umar Al-Faruq dan ‘Utsman ibn ‘Affan. Mereka adalah beberapa sosok shahabat yang telah ‘mengantongi’ jaminan itu. Lalu bacalah perjalanan hidup mereka sesudah memperoleh jaminan surga itu. Tidak sekalipun mereka berleha-leha dalam beribadah. Jaminan itu justru semakin membuat mereka semakin meluap-luap untuk berjumpa dengan Rabb mereka. Duhai, alangkah pandirnya kita.

Suatu ketika, Jubair ibn Nufair mendengarkan do’a yang diucapkan oleh shahabat mulia Abu ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhum di akhir shalatnya. Anda tahu do’a apa yang beliau panjatkan? ‘Audzubillahi minan nifaq (Aku berlindung kepada Allah dari sifat munafik). Ya, seorang shahabat seperti Abu ad-Darda’ begitu takut terhadap kemunafikan. Itulah sebabnya, -masih menurut penuturan Jubair ibn Nufair- beliau mengulang-ulangi do’a itu.

“Duhai tuan, ada apa antara Anda dengan kemunafikan?” tanya Jubair kepadanya.
“Sudahlah, engkau tidak usah mencampurinya. Demi Allah! Sesungguhnya seseorang itu dapat berubah-ubah dan berbolak-balik agamanya dalam satu jam, hingga akhirnya agama itu tercabut darinya!” jawab Abu ad-Darda’.

Seorang ‘alim bernama Yusuf ibn Ahmad Asy-Syairazy mengisahkan tentang salah seorang gurunya yang dikenal dengan Abu Waqt. Sang guru ini dikenal sebagai salah satu ahli hadits yang telah melakukan pengembaraan panjang untuk menyelami hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia bahkan digelari sebagai ruhlah ad-dunya; sang pengembara dunia. Simaklah penuturan Yusuf Asy-Syairazy tentang guru yang satu ini:
“…Allah akhirnya menakdirkan aku bertemu dengan beliau di negeri bernama Kirman. Saat aku pertama berjumpa, kuucapkan salam kepadanya lalu aku mencium (kepala atau pundaknya). Kemudian aku duduk bersimpuh di hadapan beliau. Tidak lama kemudian, beliau bertanya padaku:

“Apa yang membuatmu datang ke negeri ini?”
Aku menjawab: “Engkaulah yang menjadi maksudku, tuanlah sandaranku setelah Allah Ta’ala. Aku telah menulis hadits-hadists yang engkau riwayatkan dengan penaku, namun aku tetap berusaha menemui tuan dengan kedua kakiku agar aku bisa mendapatkan keberkahan nafas-nafas tuan dan mendapat sanad tuan yang lebih tinggi.”
Beliau kemudian berkata: “Semoga Allah memberikan taufiq dan keridhoan kepadaku dan kepadamu. Semoga Ia menjadikan segala upaya kita adalah karena-Nya. Semoga Ia menjadikan tujuan kita hanyalah pada-Nya. Duhai, seandainya saja engkau mengetahui aku dengan sebenar-benarnya, niscaya engkau tidak akan mau mengucapkan salam padaku. Niscaya engkau tidak akan sudi duduk di hadapanku…”

Beliau kemudian menangis. Lama sekali. Hingga membuat semua yang hadir pun turut menangis. Lalu beliau melanjutkan ucapannya, “Ya Allah! Tutupilah aib-aib kami dengan perlindungan-Mu Yang Mahaindah, dan jadikanlah apa yang ada di bawah perlindungan-Mu itu sesuatu yang Engkau ridhai untuk kami…”.

Itulah yang dikatakan oleh sang ‘alim pengembara dunia itu. Lalu apakah gerangan yang patut kita ucapkan dengan segala kelalaian kita? Katakanlah kepada siapapun yang mencoba mengagumi dan memuji kita: “Saudaraku, andai engkau tahu siapa aku sebenarnya…”. Lalu tangisilah diri sendiri.

Tidak ada komentar: